Entri Populer

Sabtu, 27 April 2013

Resensi novel Bukan Pasar Malam karya Pram



BUKAN PASAR MALAM

Judul                  : Bukan Pasar Malam
Pengarang          : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit              : Lentera Dipantara
Cetakan              : Pertama
Tahun Terbit      :  2004
Tempat Terbit    :  Jakarta
Tebal Buku        : 106 hlm; 20 cm]\
SINOPSIS
            Aku mendapatkan surat dari paman yang menyatakan bahwa ayahku sedang sakit keras. Aku ingin segera pulang ke Blora tetapi tidak mempunyai uang maka berhutanglah aku.
            Pagi-pagi aku dan istriku berangkat ke Blora dengan naik kereta api. Dalam perjalanan aku teringat akan ayah dan kenang-kenangan masa lalu. Perjalanan tidak bisa dilanjutkan maka kami bermalam di hotel.
            Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan. Aku ingin sekali memperkenalkan keindahan daerahku dengan jurang dan hutannya, dengan kijang dan monyetnya. Akupun teringat akan kenang-kenangan pada masa kecil, waktu sering bertamasya bersepeda ke luar-masuk hutan.
            Ternyata telegram yang aku kirimkan tidak sampai sehingga tidak ada yang menjemput. Sesempainya di rumah aku dan istriku disambut dengan riang oleh adik-adikku. Kami saling mengobrol dan dikala aku menyakan kabar kesehatan bapak semua berdiam diri. Dalam rumah itu juga terdapat adikku perempuan yang ketiga sedang berada di kamar yang sakit dan menangis. Akupun menghampirinya.
            Sore itu kami pergi ke rumah sakit, aku, istriku, adikku yang keempat, dan seorang adikku yang belum dewasa (ketujuh) untuk menjenguk ayah. Aku memperkenalkan istriku kepada ayah. Ayah tampak kurus sekali. Kami bercakap-cakap dengan ayah.
            Malam itu paman dan bibi datang dan mereka berniat untuk mencari pertolongan dukun karena rupanya ayahku tidak bisa ditolong lagi dari penyakitnya. Keesokan harinya, setelah magrib aku dan paman pergi ke dukun untuk meminta kesembuhan ayah. Akan tetapi, dukun itu tidak bisa mengobati ayah dan hanya memberi syarat saja yakni merendam dupa di air minum ayah.
            Rumah yang kudiami nampak miring sebagian temboknya telah runtuh. Akupun berjalan-jalan dan ketemui seorang tetangga dan kami mengobrol. Tetangga tersebut menyarankan agar aku membenahi rumah karena sangka orang tua dulu: apabila rumah itu rusak, yang menempatinya pun rusak. Akupun berniat memperbaiki dan memberitahu ayah mengenai hal ini. Ayah sangat setuju dan juga menyuruh aku untuk memperbaiki sumur serta ayah menasehati aku perkara perkawinannya dengan orang Jawa Tengah.
            Sore hari aku, isteriku, dan kedua adikku menengok ayah. Aku akan berpamitan kepada ayah tetapi ayah belum mengijinkan. Aku merasa berdosa dan menyesal karena kabar itu membuat ayah semakin bersedih hati. Sejak hari itu kesehatan ayah semakin menurun. Dalam minggu sesudah itu banyak yang dipintanya tetapi ayah tidak menjamahnya yang kemudian dipintanya yakni es.
            Dalam seminggu ini kesehatan ayah semakin menurun dam kami sekeluarga berniat untuk membawa ayah pulang agar kami bisa merawat dan menjaga ayah secara intensif.
            Nampak kelegaan pada paras ayah di kala terbaring di rumah. Sebagaimana mestinya para tetangga banyak yang berdatangan untuk melihat keadaan ayah.
            Bergantian kami menunggu ayah dengan adik-adikku. Terasa betul oleh kami betapa bahagia rasanya tidak tidur untuk kepentingan seorang ayah yang sedang tergeletak tak berdaya.
            Pagi hari kami menemukan ayah tidak bernyawa lagi kami sangat sedih akan kepergian ayah. Banyak pelawat yang datang yang semuanya memuji ayah. Ayah adalah seorang yang baik hati, berbudi luhur, dan mau berkorban demi orang lain.




KOMENTAR
            Novel karya Pramoedya Ananta Toer ini merupakan karya sastra pada periode 45-an. Dalam karya sastra ini sudah mengandung konsep humanisme universal yang berusaha memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur yang berlaku bagi setiap manusia dan setiap bangsa. Cerita ini dilatarbelakangi oleh seorang yang revolusioner yang pulang ke kampung halaman untuk menjenguk seorang ayah yang sedang sakit parah.
            Bahasa yang digunakan dalam novel ini menggunakan bahasa yang sederhana (bahasa yang sehari-hari). Sedangkan isi cerita dalam novel ini bersifat realistis, kritis, naturalisme, dan terkadang sinis, serta berjiwa revolusioner. Dalam novel ini tokoh mengkerdilkan dirinya sendiri karena ketidakberdayaan melawan takdir yang diberikan kepada keluarga mereka.
            Gaya yang digunakan pengarang sudah berbeda dengan angkatan sebelumnya. Pengarang lebih bebas dan berani dalam mengungkapkan masalah mereka dan masalah yang terjadi di negara ini. Mereka tidak lagi terikat oleh aturan-aturan yang mengekang mereka dalam berkreasi dan menghasilkan karya sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar