BUKAN PASAR
MALAM
Judul
: Bukan Pasar Malam
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit
: Lentera Dipantara
Cetakan : Pertama
Tahun Terbit : 2004
Tempat Terbit
: Jakarta
Tebal Buku : 106 hlm; 20 cm]\
SINOPSIS
Aku
mendapatkan surat
dari paman yang menyatakan bahwa ayahku sedang sakit keras. Aku ingin segera
pulang ke Blora tetapi tidak mempunyai uang maka berhutanglah aku.
Pagi-pagi
aku dan istriku berangkat ke Blora dengan naik kereta api. Dalam perjalanan aku
teringat akan ayah dan kenang-kenangan masa lalu. Perjalanan tidak bisa
dilanjutkan maka kami bermalam di hotel.
Keesokan
harinya kami melanjutkan perjalanan. Aku ingin sekali memperkenalkan keindahan
daerahku dengan jurang dan hutannya, dengan kijang dan monyetnya. Akupun
teringat akan kenang-kenangan pada masa kecil, waktu sering bertamasya
bersepeda ke luar-masuk hutan.
Ternyata
telegram yang aku kirimkan tidak sampai sehingga tidak ada yang menjemput.
Sesempainya di rumah aku dan istriku disambut dengan riang oleh adik-adikku.
Kami saling mengobrol dan dikala aku menyakan kabar kesehatan bapak semua berdiam
diri. Dalam rumah itu juga terdapat adikku perempuan yang ketiga sedang berada
di kamar yang sakit dan menangis. Akupun menghampirinya.
Sore
itu kami pergi ke rumah sakit, aku, istriku, adikku yang keempat, dan seorang
adikku yang belum dewasa (ketujuh) untuk menjenguk ayah. Aku memperkenalkan
istriku kepada ayah. Ayah tampak kurus sekali. Kami bercakap-cakap dengan ayah.
Malam
itu paman dan bibi datang dan mereka berniat untuk mencari pertolongan dukun
karena rupanya ayahku tidak bisa ditolong lagi dari penyakitnya. Keesokan
harinya, setelah magrib aku dan paman pergi ke dukun untuk meminta kesembuhan
ayah. Akan tetapi, dukun itu tidak bisa mengobati ayah dan hanya memberi syarat
saja yakni merendam dupa di air minum ayah.
Rumah
yang kudiami nampak miring sebagian temboknya telah runtuh. Akupun
berjalan-jalan dan ketemui seorang tetangga dan kami mengobrol. Tetangga
tersebut menyarankan agar aku membenahi rumah karena sangka orang tua dulu:
apabila rumah itu rusak, yang menempatinya pun rusak. Akupun berniat
memperbaiki dan memberitahu ayah mengenai hal ini. Ayah sangat setuju dan juga
menyuruh aku untuk memperbaiki sumur serta ayah menasehati aku perkara
perkawinannya dengan orang Jawa Tengah.
Sore
hari aku, isteriku, dan kedua adikku menengok ayah. Aku akan berpamitan kepada
ayah tetapi ayah belum mengijinkan. Aku merasa berdosa dan menyesal karena
kabar itu membuat ayah semakin bersedih hati. Sejak hari itu kesehatan ayah
semakin menurun. Dalam minggu sesudah itu banyak yang dipintanya tetapi ayah tidak
menjamahnya yang kemudian dipintanya yakni es.
Dalam
seminggu ini kesehatan ayah semakin menurun dam kami sekeluarga berniat untuk
membawa ayah pulang agar kami bisa merawat dan menjaga ayah secara intensif.
Nampak
kelegaan pada paras ayah di kala terbaring di rumah. Sebagaimana mestinya para
tetangga banyak yang berdatangan untuk melihat keadaan ayah.
Bergantian
kami menunggu ayah dengan adik-adikku. Terasa betul oleh kami betapa bahagia
rasanya tidak tidur untuk kepentingan seorang ayah yang sedang tergeletak tak
berdaya.
Pagi
hari kami menemukan ayah tidak bernyawa lagi kami sangat sedih akan kepergian
ayah. Banyak pelawat yang datang yang semuanya memuji ayah. Ayah adalah seorang
yang baik hati, berbudi luhur, dan mau berkorban demi orang lain.
KOMENTAR
Novel
karya Pramoedya Ananta Toer ini merupakan karya sastra pada periode 45-an.
Dalam karya sastra ini sudah mengandung konsep humanisme universal yang
berusaha memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur yang berlaku bagi
setiap manusia dan setiap bangsa. Cerita ini dilatarbelakangi oleh seorang yang
revolusioner yang pulang ke kampung halaman untuk menjenguk seorang ayah yang
sedang sakit parah.
Bahasa
yang digunakan dalam novel ini menggunakan bahasa yang sederhana (bahasa yang
sehari-hari). Sedangkan isi cerita dalam novel ini bersifat realistis, kritis,
naturalisme, dan terkadang sinis, serta berjiwa revolusioner. Dalam novel ini
tokoh mengkerdilkan dirinya sendiri karena ketidakberdayaan melawan takdir yang
diberikan kepada keluarga mereka.
Gaya yang digunakan
pengarang sudah berbeda dengan angkatan sebelumnya. Pengarang lebih bebas dan
berani dalam mengungkapkan masalah mereka dan masalah yang terjadi di negara
ini. Mereka tidak lagi terikat oleh aturan-aturan yang mengekang mereka dalam
berkreasi dan menghasilkan karya sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar