Entri Populer

Minggu, 24 April 2011

Resensi Novel: Love in Sunkist


LOVE IN SUNKIST
Don’t Say it with Flower, but Sunkist …

A.  Identitas Buku
1.         Judul               : Love in Sunkist: Don’t Say it with Flower, but Sunkist …
2.         Penulis             : Evelyn Jingga
3.         Tahu Terbit      : 2006
4.         Penerbit           : Bandung: Cinta
5.         Genre              : Chicklit
B.  Ringkasan Isi Buku
Menyatakan cinta dengan bunga atau cokelat itu sudah biasa tetapi kalau menyatakan cinta dengan buah sunkist ini baru luar biasa. Novel ini menceritakan kisah seorang gadis yang tengah jatuh cinta yang bernama Kimberly Andrea alias Kimmy berusia 21 tahun yang tidak menyangka saat dia belanja  di Supermarkat 365 Days menjadi sebuah cerita cinta yang sungguh melelahkan. Cewek imut yang mandiri dan mempunyai toko buku di seberang supermarket ini terjerat cinta dengan cowok wangi yang mempunyai badan proporsional yang membeli buah sunkist di supermarket ketika ia sedang berbelanja.
Cowok itu sanggup membuat Kimmy blingsatan tidak karuan, sering memikirkannya hingga ia tidak bisa tidur karena membayangkan kegantengannya. Kimmy sering datang ke supermarket agar bisa bertemu dengan cowok tersebut. Dewi Fortuna saat itu berpihak pada Kimmy sehingga dia bisa bertemu dengan cowok itu dan berkenalan. Cowok itu bernama Nikolas Kevin alias Niko yang tinggal di apartemen Grand Cemara Blok 7. Kimmy sempat mengajak Niko bermain ke toko bukunya dan disitu keduanya saling mengakrabkan diri.
Hubungan keduanya berjalan dengan mulus tetapi keduanya saling menganggap diri sebagai seorang sahabat. Padahal Kimmy berharap lebih dari seorang sahabat. Ia hanya menjadi sahabat yang baik hati tanpa mengutarakan maksud hatinya. Hal itu membuat sakit hati Kimmy karena ia tahu bahwa Niko mencintai seseorang yang bernama Nisye. Nisye adalah teman semasa kecil dan Niko pernah mengutarakan cintanya tetapi ditolaknya. Sehingga Kimmy diminta tolong untuk membantu Niko agar bisa menyatakan cintanya kepada Nisye. Kimmy merasa tersakiti karena cowok yang ingin dijadikan pacar mempunyai pilihan cewek lain.
Kimmy merasa takut untuk mengutarakan isi hatinya kepada Niko karena ia takut kehilangan Niko untuk selamanya. Saat Kimmy dan temannya makan di restoran Jepang, ia bertemu dengan Niko dan Nisye berjalan berdua dan menghampirinya. Saat itu Kimmy merasa dirinya tidak berguna di depan Niko, hatinya sakit teriris melihat mereka berjalan berdua.
Suatu malam, Kimmy mendapatkan telepon dari mamanya yang menyatakan bahwa kimmy mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di Taiwan. Ini kesempatan emas untuk Kimmy, selain untuk meraih mimpinya, ia juga bisa pergi dari hadapan Niko dan melupakannya untuk selama-lamanya.
Kepergian Kimmy ke Taiwan disambut isak tangis sahabatnya. Niko merasa sedih ditinggalkan Kimmy, sebenarnya ingin sekali Niko mencegah Kimmy pergi karena ternyata Niko juga mencintai Kimmy. Perasaan cinta mereka yang terdalam seperti terbungkus seribu macam keraguan. Titik perpisahan semakin dekat saat Kimmy melepaskan diri dari pelukan Niko. Kimmy berjalan meninggalkan orang yang dicintainya, kemudian Niko memanggil Kimmy dan memberikan sebuah kotak kecil yang dibungkus kertas kado berwarna biru muda. Kimmy pun beranjak meninggalkan Niko. Sesaat setelah Kimmy pergi, Niko mendapatkan sepucuk surat dari Kimmy.
Kado yang diberikan Niko berisi sebuah sunkist yang ada tulisan  I love you dengan tinta berwarna biru yang di dalamnya ada sepucuk surat cinta yang menyatakan bahwa Niko telah jatuh cinta kepada Kimmy saat pertama kali bertemu di supermarket.  Setelah membuka kado itu Kimmy tidak bisa menghentikan air matanya.
Di sisi lain, Niko juga membuka surat yang diberikan Kimmy kepadanya. Selesai membaca surat tersebut jantung Niko berdegup kencang. Ingin sekali ia mengejar Kimmy, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Perasaan Niko kini gelisah karena harus merelakan kepergian Kimmy namun ia lega rahasia cinta keduanya terkuak juga.
Tiga tahun kemudian, Kimmy menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Supermarket 365 Days tetapi ia tidak menemukan sesosok yang pernah mengisi hatinya. Ia memutuskan untuk pulang namun di luar gerimis. Kimmy terus berjalan sambil menutup kepalanya. Tiba-tiba ia merasakan ada seseorang yang mengikutinya lalu mendadak berhenti ketika ia mencium sesuatu. Keharuman yang ia kenal. Wangi yang tiba-tiba tercium di hidungnya kalau ia ingat seseorang. Wangi yang selalu membuatnya ingin terbang…
Kimmy memalingkan wajahnya pelan-pelan. Sangat pelan, seperti adegan film dalam gerak lambat. Begitu ia melihat sesosok wajah di belakangnya ia tersenyum.
C.                Kelebihan Buku
Novel ini menyuguhkan cerita remaja yang sedang jatuh cinta. Cerita tidak hanya terfokus pada cerita cinta saja tetapi juga  persahabatan di antara keduanya yang berujung dengan cinta. Novel ini memaparkan cerita secara lugas, menggunakan bahasa sehari-hari, dan ceritanya penuh dengan hal-hal yang menyegarkan berbalur rasa asam dan manis jeruk Sunkist. Seperti sunkist yang asam-manis plus segar. Selain itu,  pembaca juga bisa sedikit belajar bahasa Mandarin dari novel ini. Setidaknya bisa menambah kosakata dalam bahasa Asing yakni bahasa Mandarin.
D.                Kelemahan Buku
Sayangnya, dalam buku ini terdapat bahasa Asing yang sering muncul sehingga pembaca awam yang tidak mengerti bahasa Inggris akan sulit menangkap apa maksud dari cerita tersebut. Selain itu, kualitas kertas kurang baik  karena menggunakan kertas buram sehingga menjadikan novel tersebut  kurang  enak dipandang mata, kurang mendapatkan kesegaran dari ceritanya yang segar.
E.   Alasan Pentingnya Buku Dibaca
Buku ini wajib dibaca oleh kaum remaja, karena di dalamnya terdapat suatu pelajaran yang sangat berharga untuk kita telaah lebih lanjut. Dalam buku ini kita bisa mendapatkan apa arti dari persahabatan dan seberapa besar pengorbanan kita untuk seseorang yang kita cintai. Buku ini akan mengubah paradigma yang sedang berkembang saat ini bahwa untuk menyatakan cinta itu tidak hanya dengan bunga, cokelat, atau dengan boneka melainkan bisa dengan apa saja termasuk dengan novel, buah sunkist, atau dengan yang lainnya.

Selasa, 19 April 2011

kisah inspiratif


Semangat terlecut ketika mendapatkan penghargaan
 dari Bapak Presiden Suharto

Kisah nyata dari seorang yang bernama Shodikin yang sekarang usianya telah berusia 43 tahun. Ia bertempat tinggal di daerah Sawojajar Malang. Shodikin ini bukanlah orang yang sempurna, dia tidak seberuntung kita sebagai ciptaan yang Maha Kuasa. Akan tetapi, karena semangatnya sangat  besar ia mampu meraih mimpi-mimpinya.
Dia memang memiliki keterbatasan fisik yakni tingginya tidak lebih dari semeter bahkan kedua tangannya tidak bisa difungsikan secara normal. Namun, Allah maha adil dan bijaksana, dia mempunyai ketrampilan melukis yang luar biasa dan sebuah kekayaan jiwa. Tutur bicaranya sopan, lembut, dan orang yang mudah bergaul.
Karena kecintaannya pada dunia gambar dan kerajinan ia mulai belajar menggambar dengan kaki sejak umur 4 tahun. Ditengah-tengah perjalanan Shodikin tidak lepas dari beban batin karena dia memiliki keterbatasan, yakni tidak memiliki kedua tangan sejak lahir. Bahkan tidak sering ia menjadi bahan pergunjingan masyarakat dan memandang sebelah mata terhadapnya sehingga ia sering merasa minder dan apabila keluar rumah ia terpaksa menunduk.
Semangat kini tumbuh lagi karena ia mendapatkan penghargaan dari Presiden Suharto berupa mesin ketik yang telah memotivasi ia menjadi lebih baik dan ditambah lagi dukungan dari orang tuanya yang tidak pernah habisnya sehingga ia terus melangkah. Yah dorongan itulah yang telah mengembalikan semangat yang dulu pernah hilang.
Suatu hari pada tahun 1987 saat ia duduk di bangku SMA ada seorang belanda yang tertarik dengan hasil karya seninya itu dan dihargai sebesar 300 ribu.  Sejak saat itulah shodikin semakin percaya diri untuk mewujudkan mimpi-mimpinya menjadi seorang seniman. Bahkan saking seriusnya menggeluti seni lukis itu, ia bertekad untuk melanjutkan studinya di ISI (Institut Seni Indonesia) di Jogjakarta. Namun, karena keterbatasan fisiknya sehingga ia tidak diterima di ISI. Ia tak putus semangat, kemudian ia mencoba kuliah di UMM menempuh jurusan psikologi. Lagi-lagi perjalanan kariernya tidak semulus dugaannya karena ia terlalu sibuk melukis. Bahkan ia pernah tidak diperbolehkan mengikuti ujian akhir semester pada semester tiga dan disuruh mengambil cuti untuk sementara waktu. Ia tak mudah putus asa saat itu juga ia berinisiatif untuk mendaftarkan dirinya sebagai anggota Assosiasi pelukis mulut dan kaki di swiis. Dan alhamdulilah ia kini sebagai anggota tetap.
Keuntungan menjadi anggota tetap inilah yang bisa membawa dia keliling dunia berkat hasil karyanya dan kini dia bisa menunjukkan pada orang lain bahwa dia juga mampu melakukan hal yang luar biasa. Dari hasil melukis inilah ia bisa menyelesaikan kuliah di UMM.
Sampai sekarang Shodikin masih tetap berkarya bahkan ia sudah berkeluarga dan bisa menyekolahkan anaknya hingga kejenjang yang lebih tinggi dan hidup serba kecukupan.
Meski sukses, tidak membuat Shodikin tengadah ke atas dan angkuh. Bahkan kini hidupnya hanya diabdikan untuk lukisan dan menyempatkan waktunya untuk mengajar seni melukis di SD Bhakti Luhur dan SMA Santha Maria Malang.


Semangat terlecut ketika mendapatkan penghargaan
 dari Bapak Presiden Suharto

Kisah nyata dari seorang yang bernama Shodikin yang sekarang usianya telah berusia 43 tahun. Ia bertempat tinggal di daerah Sawojajar Malang. Shodikin ini bukanlah orang yang sempurna, dia tidak seberuntung kita sebagai ciptaan yang Maha Kuasa. Akan tetapi, karena semangatnya sangat  besar ia mampu meraih mimpi-mimpinya.
Dia memang memiliki keterbatasan fisik yakni tingginya tidak lebih dari semeter bahkan kedua tangannya tidak bisa difungsikan secara normal. Namun, Allah maha adil dan bijaksana, dia mempunyai ketrampilan melukis yang luar biasa dan sebuah kekayaan jiwa. Tutur bicaranya sopan, lembut, dan orang yang mudah bergaul.
Karena kecintaannya pada dunia gambar dan kerajinan ia mulai belajar menggambar dengan kaki sejak umur 4 tahun. Ditengah-tengah perjalanan Shodikin tidak lepas dari beban batin karena dia memiliki keterbatasan, yakni tidak memiliki kedua tangan sejak lahir. Bahkan tidak sering ia menjadi bahan pergunjingan masyarakat dan memandang sebelah mata terhadapnya sehingga ia sering merasa minder dan apabila keluar rumah ia terpaksa menunduk.
Semangat kini tumbuh lagi karena ia mendapatkan penghargaan dari Presiden Suharto berupa mesin ketik yang telah memotivasi ia menjadi lebih baik dan ditambah lagi dukungan dari orang tuanya yang tidak pernah habisnya sehingga ia terus melangkah. Yah dorongan itulah yang telah mengembalikan semangat yang dulu pernah hilang.
Suatu hari pada tahun 1987 saat ia duduk di bangku SMA ada seorang belanda yang tertarik dengan hasil karya seninya itu dan dihargai sebesar 300 ribu.  Sejak saat itulah shodikin semakin percaya diri untuk mewujudkan mimpi-mimpinya menjadi seorang seniman. Bahkan saking seriusnya menggeluti seni lukis itu, ia bertekad untuk melanjutkan studinya di ISI (Institut Seni Indonesia) di Jogjakarta. Namun, karena keterbatasan fisiknya sehingga ia tidak diterima di ISI. Ia tak putus semangat, kemudian ia mencoba kuliah di UMM menempuh jurusan psikologi. Lagi-lagi perjalanan kariernya tidak semulus dugaannya karena ia terlalu sibuk melukis. Bahkan ia pernah tidak diperbolehkan mengikuti ujian akhir semester pada semester tiga dan disuruh mengambil cuti untuk sementara waktu. Ia tak mudah putus asa saat itu juga ia berinisiatif untuk mendaftarkan dirinya sebagai anggota Assosiasi pelukis mulut dan kaki di swiis. Dan alhamdulilah ia kini sebagai anggota tetap.
Keuntungan menjadi anggota tetap inilah yang bisa membawa dia keliling dunia berkat hasil karyanya dan kini dia bisa menunjukkan pada orang lain bahwa dia juga mampu melakukan hal yang luar biasa. Dari hasil melukis inilah ia bisa menyelesaikan kuliah di UMM.
Sampai sekarang Shodikin masih tetap berkarya bahkan ia sudah berkeluarga dan bisa menyekolahkan anaknya hingga kejenjang yang lebih tinggi dan hidup serba kecukupan.
Meski sukses, tidak membuat Shodikin tengadah ke atas dan angkuh. Bahkan kini hidupnya hanya diabdikan untuk lukisan dan menyempatkan waktunya untuk mengajar seni melukis di SD Bhakti Luhur dan SMA Santha Maria Malang.

cerpen Langit Makin Mendung


Langit Makin Mendung
 Kipandjikusmin
LAMA-LAMA mereka bosan juga dengan status pensiunan nabi di surgaloka. Petisi dibikin, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan-pensiunan diberi cuti bergilir turba ke bumi, yang konon makin ramai saja.
“Refreshing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan justru siksaan bagi manusia yang biasa berjuang. Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal-pegal kejang memuji kebesaran-Mu; beratus tahun tanpa henti.”
Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia…. Dipanggillah penanda-tangan pertama: Muhammad dari Medinah, Arabia. Orang bumi biasa memanggilnya Muhammad saw..
“Daulat, ya Tuhan.”
“Apalagi yang kurang di surgaku ini? Bidadari jelita berjuta, sungai susu, danau madu, buah apel emas, pohon limau perak. Kijang-kijang platina, burung-burung berbulu intan baiduri. Semua adalah milikmu bersama, sama rasa sama rata!”
“Sesungguhnya bahagia lebih dari cukup, bahkan tumpah ruah melimpah-limpah.”
“Lihat rumput-rumput jamrud di sana. Bunga-bunga mutiara bermekaran.”
“Kau memang mahakaya. Dan manusia alangkah miskin, melarat sekali.”
Tengok permadani sutra yang kau injak. Jubah dan sorban cashmillon yang kau pakai. Sepatu Aladin yang bisa terbang. Telah kuhadiahkan segala yang indah-indah!”
Muhammad tertunduk, terasa betapa hidup manusia hanya jalinan-jalinan penyadong sedekah dari Tuhan. Alangkah nista pihak yang selalu mengharap belas kasihan. la ingat, waktu sowan ke surga dulu dirinya hanya sekeping jiwa telanjang.
“Apa sebenamya kau cari di bumi? Kemesuman, kemunafikan, kelaparan, tangis, dan kebencian sedang berkecamuk hebat sekali.”
“Hamba ingin mengadakan riset,” jawabnya lirih.
“Tentang apa?”
“Akhir-akhir ini begitu sedikit umat hamba yang masuk surga.”
“Ahk, itu kan biasa. Kebanyakan mereka dari daerah tropis kalau tak salah?”
“Betul, kau memang maha tahu.” “Kemarau kelewat panjang di sana. Terik matahari terlalu lama membakar otak-otak mereka yang bodoh.” Kacamata model kuno dari emas diletakkan di atas meja dari emas pula.
“Bagaimana, ya Tuhan?”
“Umatmu banyak kena tusukan siar matahari. Sebagian besar berubah ingatan, lainnya pada mati mendadak.”
“Astaga! Betapa nasib mereka kemudian?”
“Yang pertama asyik membadut di rumah-rumah gila.”
“Dan yang mati?”
“Ada stempel Kalimat Syahadat dalam paspor mereka. Terpaksa raja iblis menolak memberikan visa neraka untuk orang-orang malang itu.”
“Heran, tak pernah mereka mohon suaka ke sini!” dengan kening sedikit mengerut.
“Tentara neraka memang telah merantai kaki-kaki mereka di batu nisan masing-masing.”
“Apa dosa mereka gerangan? Betapa malang nasib umat hamba, ya Tuhan!”
“Jiwa-jiwa mereka kabarnya mambu Nasakom. Keracunan Nasakom!”
“Nasakom? Racun apa itu, ya Tuhan! Iblis laknat mana meracuni jiwa mereka. (Muhammad saw. nampak gusar sekali. Tinju mengepal). Usman, Umar, Ali! Asah pedang kalian tajam-tajam!”
Tuhan hanya mengangguk-angguk, senyum penuh pengertian –penuh kebapaan.
“Carilah sendiri fakta-fakta yang otentik. Tentang pedang-pedang itu kurasa sudah kurang laku di pasar loak pelabuhan Jedah. Pencipta Nasakom sudah punya bom atom, kau tahu!”
“Singkatnya, hamba diizinkan turba ke bumi?” (Ia tak takut bom atom).
“Tentu saja. Mintalah surat jalan pada Sulaiman yang bijak di sekretariat. Tahu sendiri, dirasai Botes polisi-polisi dan hansip-hansip paling sok iseng, gemar sekali ribut-ribut perkara surat jalan.”
“Tidak bisa mereka disogok?”
“Tidak, mereka lain dengan polisi dari bumi. Bawalah Jibril serta, supaya tak sesat!”
“Daulat, ya Tuhan.” (Bersujud penuh sukacita).
***
Sesaat sebelum berangkat, surga sibuk sekali. Timbang terima jabatan Ketua Kelompok Grup Muslimin di surga, telah ditandatangani naskahnya. Abubakar tercantum sebagao pihak penerima. Dan masih banyak lainnya.
“Wahai yang terpuji, jurusan mana yang paduka pilih?” Jibril bertanya takzim.
“Ke tempat jasadku diistirahatkan; Medinah, kau ingat? Ingin kuhitung jumlah musafir-musafir yang ziarah. Di sini kita hanya kenal dua macam angka, satu dan tak berhingga.”
Seluruh penghuni surga mengantar ke lapangan terbang. Lagu-lagu padang pasir terdengar merayu-rayu, tapi tanpa tari perut bidadari-bidadari. Entah dengan berapa juta lengan Muhammad saw. harus berjabat tangan.
Nabi Adam as. sebagai pinisepuh tampil di depan mikropon. Dikatakan bahwa pengorbanan Muhammad saw. merupakan lembaran baru dalam sejarah manusia. Besar harapan akan segera terjalin saling pengertian yang mendalam antara
penghuni surga dan bumi.
“Akhir kata saudara-saudara, hasil peninjauan on the spot oleh Muhammad saw. harus dapat dimanfaatkan secara maksimal nantinya. Ya, saudara-saudara para suci! Sebagai kaum arrive surga, kita tak boleh melupakan perjuangan saudara-saudara kita di bumi melawan rongrongan iblis-iblis di neraka beserta antek-anteknya. Kita harus bantu mereka dengan doa-doa dan sumbangan-sumbangan pikiran yang konstruktif, agar mereka scmua mau ditarik ke pihak Tuhan; sekian. Selamat jalan Muhammad. Hidup persatuan Rakyat Surga dan Bumi.”
“Ganyang!!!” Berjuta suara menyahut serempak.
Muhammad segera naik ke punggung buroq-kuda sembrani yang dulu jadi tunggangannya waktu ia mikraj.
Secepat kilat buroq terbang ke arah bumi, dan Jibril yang sudah tua terengah-engah mengikuti di belakang.
Mendadak, sebuah sputnik melayang di angkasa hampa udara.
“Benda apa di sana?” Nabi keheranan.
“Orang bumi bilang sputnik! Ada tiga orang di dalamnya, ya Rasul.”
“Orang? Menjemput kedatanganku kiranya?” (Gembira).
“Bukan, mereka justru rakyat negara kapir terbesar di bumi. Pengikut Marx dan Lenin yang ingkar Tuhan. Tapi pandai-pandai otaknya.”
“Orang-orang malang; semoga Tuhan mengampuni mereka. (Berdoa). Aku ingin lihat orang-orang kapir itu dari dekat. Ayo, buroq!”
Buroq melayang deras menyilang arah sputnik mengorbit. Dengan pedang apinya Jibril memberi isyarat sputnik berhenti sejenak.
Namun sputnik Rusia memang tak ada remnya. Tubrukan tak terhindarkan lagi. Buroq beserta sputnik hancur jadi debu; tanpa suara, tanpa sisa. Kepala botak-botak di lembaga aeronetika di Siberia bersorak gembira.
“Diumumkan bahwa sputnik Rusia berhasil mencium planet yang tak dikenal. Ada sedikit gangguan komunikasi …,” terdengar siaran radio Moskow.
Muhammad dan Jibril terpental ke bawah, mujur mereka tersangkut di gumpalan awan yang empuk bagai kapas.
“Sayang, sayang. Neraka bertambah tiga penghuni lagi.” Berbisik sedih.
Sejenak dilontarkan pandangannya ke bawah. Hatinya tiba-tiba berdesir ngeri.
“Jibril, neraka lapis ke berapa di sana gerangan?”
“Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi bagian bumi yang paling durhaka. Jakarta namanya. Ibukota sebuah negeri dengan seratus juta rakyat yang malas dan bodoh. Tapi ngakunya sudah bebas B.H.”
“Tak pernah kudengar nama itu. Mana lebih durhaka, Jakarta atau Sodomah dan Gomorah?”
“Hampir sama.”
“Ai, hijau-hijau di sana bukankah warna api neraka?”
“Bukan, paduka! Itulah barisan sukwan dan sukwati guna mengganyang negara tetangga, Malaysia.”
“Adakah umatku di Malaysia?”
“Hampir semua, kecuali Cinanya tentu.”
“Kalau begitu, kapirlah bangsa di bawah ini!”
“Sama sekali tidak, 9o persen dari rakyatnya orang Islam juga.”
“90 persen,” wajah nabi berseri, “90 juta umatku! Muslimin dan muslimat yang tercinta. Tapi tak kulihat mesjid yang cukup besar, di mana mereka bersembahyang Jumat?”
“Soal 90 juta hanya menurut statistik bumiawi yang ngawur. Dalam catatan Abubakar di surga, mereka tak ada sejuta yang betul-betul Islam!”
“Aneh. Gilakah mereka?”
“Tidak, hanya berubah ingatan. Kini mereka akan menghancurkan negara tetangga yang se-agama!”
“Aneh!”
“Memang aneh.”
“Ayo Jibril, segera kita tinggalkan tempat terkutuk ini. Aku terlalu rindu pada Medinah!”
“Tidak inginkah paduka menyelidiki sebab-sebab keanehan itu?”
“Tidak, tidak di tempat ini!” jawabnya tegas, “rencana risetku di Kairo.”
“Sesungguhnya pdukalah nabi terakhir, ya Muhammad?”
“Seperti telah tersurat di kitab Allah,” sahut Nabi dengan rendah hati.
“Tapi bangsa di bawah sana telah menabikan orang lain lagi.”
“Apa peduliku dengan nabi palsu!”
“Umat paduka hampir takluk pada ajaran nabi palsu!”
“Nasakom, jadi tempat inilah sumbernya. Kau bilang umatku takluk, nonsense!” Kegusaran mulai mewarnai wajah Muhammad.
“Ya, Islam terancam. Tidakkah paduka prihatin dan sedih?” terdengar suara Iblis, disambut tertawa riuh rendah.
Nabi tengadah ke atas.
“Sabda Allah tak akan kalah. Betapapun Islam, ia ada dan tetap ada, walau bumi hancur sekalipun!”
Suara Nabi mengguntur dahsyat, menggema di bumi, di lembah-lembah, di puncak-puncak gunung, di kebun-kebun karet, dan berpusar-pusar di laut lepas.
Gaungnya terdengar sampai ke surga, disambut takzim ucapan serentak:
“Amien, amien, amien.”
Neraka guncang, iblis-iblis gemetar menutup telinga. Guntur dan cambuk petir bersahut-sahutan.
“Naiklah, mari kita berangkat ya Rasulullah!”
Muhammad tak hendak beranjak dari awan tempatnya berdiri. Hatinya bimbang pedih dan dukacita. Wajahnya gelap, segelap langit mendung di kiri-kanannya.
Jibril menatap penuh tanda tanya, namun tak berani bertanya.
***
Musim hujan belum datang-datang juga. Di Jakarta banyak orang kejangkitan influensa, pusing-pusing dan muntah-muntah.
Naspro dan APC sekonyong-konyong melonjak harga. Jangan dikata lagi pil vitamin C dan ampul penstrip.
Kata orang, sejak pabriknya diambil alih bangsa sendiri, agen-agen Naspro mati kutu. Hanya politik-politik Cina dan tukang-tukang catut orang dalam leluasa nyomoti jatah lewat jalan belakang.
Koran sore Warta Bahari menulis: Di Bangkok 1000 orang mati kena flu, tapi terhadap flu Jakarta Menteri kesehatan bungkem.
Paginya Menteri Kesehatan yang tetap bungkem dipanggil menghadap Presiden alias PBR.
“Zeg, Jenderal. Flu ini bikin mati orang apa tidak?”
“Tidak, Pak.”
“Jadi tidak berbahaya?”
“Tidak Pak. Komunis yang berbahaya, Pak!”
“Akh, kamu. Komunisto-phobi, ya!”
Namun, meski tak berbahaya flu Jakarta tak sepandai polisi-polisinya. Flu tak bisa disogok, serangannya membabi buta tidak pandang bulu. Mulai dari pengemis-pelacur-nyonya menteri-sampai presiden diterjang semena-mena.
Pelayan-pelayan istana geger, menko-menko menarik muka sedih karena gugup menyaksikan sang PBR muntah-muntah seperti perempuan bunting muda.
Sekejap mata dokter-dokter dikerahkan, kawat telegram sibuk minta hubungan rahasia ke Peking.
“Mohon ssegera dikirim tabib-tabib Cina yang kesohor, Pemimpin Besar kami sakit keras. Mungkin sebentar lagi mati.”
Kawan Mao di singgasananya tcrsenyum-senyum, dengan wajah penuh welas-asih ia menghibur kawan seporos yang sedang sakratulmaut.
“Semoga lekas sembuh. Bersama ini rakyat Cina mengutus beberapa tabib dan dukun untuk memeriksa penyakit Saudara.”
Terhampir obat kuat akar jinsom umur seribu tahun. Tanggung manjur. Kawan nan setia: tertanda Mao. (Tidak lupa, pada tabib-tabib dititipkan pula sedikit oleh-oleh untuk Aidit).
Rupanya berkat khasiat obat kuat, si sakit berangsur-angsur sembuh. Sebagai orang beragama tak lupa mengucap sjukur pada Tuhan yang telah mengaruniai seorang sababat sebaik kawan Mao.
Pesta diadakan. Tabib-tabib Cina dapat tempat duduk istimewa. Untuk sejenak tuan rumah lupa agama, hidangan daging babi dan kodok ijo disikat tandas-tandas. Kyai-kyai yang hadir tersenyum-senyum kecut.
“Saudara-saudara. Pers nekolim gembar-gembor, katanya Soekarno sedang sakit keras. Bahkan hampir mati katanya. (Hadirin tertawa. Menertawakan kebodohan nekolim). Wah, saudara-saudara. Mereka itu selak kemudu-kemudu melihat musuh besarnya mati. Kalau Soekarno mati mereka pikir Indonesia ini akan gampang mereka iles-iles, mereka kuasai seenak udelnya sendiri, seperti negaranya Tengku.
“Padahal (menunjuk dada) lihat badan saya, saudara-saudara, Soekarno tetap segar-bugar. Soekarno belum mau mati. (Tepuk tangan gegup gempita, tabib-tabib Cina tak mau ketinggalan). Insya Allah, saya belum mau menutup mata sebelum proyek nekolim ‘Malaysia’ hancur lebur jadi debu. (Tepuk tangan lagi).”
Acara bebas dimulai. Dengan tulang-tulangnya yang tua Presiden menari lenso bersama gadis-gadis daerah Menteng Spesial diundang.
Patih-patih dan menteri-menterinya tak mau kalah gaya. Tinggal hulubalang-hulubalang cemas melihat Panglima Tertinggi bertingkah seperti anak kecil urung disunat.
Dokter pribadinya berbisik.
“Tak apa. Baik buat ginjalnya, biar kencing batu PYM tidak kumat-kumat.”
“Menyanyi! Menyanyi dong Pak!” Gadis-gadis merengek.
“Baik, baik. Tapi kalian mengiringi, ya!” Bergaya burung unta.
Siapa bilang Bapak dari Blitar
Bapak ini dari Prambanan
Siapa bilang rakyat-
Malaysia yang kelaparan …!
“Mari kita bergembira….” Nada-nada sumbang bau champagne.
Di sudut gelap istana tabib Cina berbisik-bisik dengan seorang menteri.
“Gembira sekali nampaknya dia.”
“Itu tandanya hampir mati.”
“Mati?”
“Ya, mati. Paling tidak lumpuh. Kawan Mao berpesan sudah tiba saatnya.”
“Tapi kami belum siap.”
“Kapan lagi? Jangan sampai keduluan klik Nasution.”
“Tunggu saja tanggal mainnya!”
“Nah, sampai ketemu lagi!” (Tabib Cina tersenyum puas.)
Mereka berpisah.
Mendung makin tebal di langit, bintang-bintang bersinar guram satu-satu. Pesta diakhiri dengan lagu langgam ‘Kembang Kacang’ dibawakan nenek-nenek kisut 68 tahun.
“Kawan lama Presiden!” bisik orang-orang.
Kemudian tamu-tamu permisi pamit. Perut kenyangnya mendahului kaki-kaki setengah lemas; beberapa orang muntah-muntah mabuk di halaman parkir.
Sendawa mulut mereka berbau alkohol. Sebentar-sebentar kiai mengucap ‘alhamdulillah’ secara otomatis.
Menteri-menteri pulang belakangan bersama gadis-gadis, cari kamar sewa. Pelayan-pelayan sibuk kumpulkan sisa-sisa makanan buat oleh-oleh anak istri di rumah.
Anjing-anjing istana mendengkur kekenyangan-mabuk anggur Malaga. Pengemis-pengemis di luar pagar istana memandang kuyu, sesali nasib kenapa jadi manusia dan bukan anjing!
***
Desas-desus Soekarno hampir mati lumpuh cepat menjalar dari mulut ke mulut. Meluas seketika, seperti loncatan api kebakaran gubuk-gubuk gelandangan di atas tanah milik Cina.
Sampai juga ke telinga Muhammad dan Jibril yang mengubah diri jadi sepasang burung elang. Mereka bertengger di puncak menara emas bikinan pabrik Jepang. Pandangan ke sekeliling begitu lepas bebas.
“Allahuakbar, nabi palsu hampir mati.” Jibril sambil mengepakkan sayap.
“Tapi ajarannya tidak. Nasakom bahkan telah mengoroti jiwa prajurit-prajurit. Telah mendarah daging pada sebagian kiai-kiaiku,” mendengus kesal.
“Apa benar yang paduka risaukan?”
“Kenapa kau pilih bentuk burung elang ini dan bukan manusia? Pasti kita akan dapat berbuat banyak untuk umatku!”
“Paduka harap ingat; di Jakarta setiap hidung harus punya kartu penduduk. Salah kena garuk razia gelandangan!”
“Lebih baik sebagai ruh, bebas dan aman.”
“Guna urusan bumi wajib kita jadi sebagian dari bumi.”
“Buat apa?”
“Agar kebenaran tidak telanjang di depan kita.”
“Tapi tetap di luar manusia?”
“Ya, untuk mengikuti gerak hati dna pikiran manusia justru sulit bila satu dengan mereka.”
“Aku tahu!”
“Dan dalam wujud yang sekarang mata kita tajam. Gerak kita cepat!”
“Akh, ya. Kau betul, Tuhan memberkatimu Jibril. Mari kita keliling lagi. Betapapun durhaka, kota ini mulai kucintai.”
Sepasang elang terbang di udara senja Jakarta yang berdebu menyesak dada dan hidung mereka asap knalpot dari beribu mobil.
Di atas Pasar Senen tercium bau timbunan sampah menggunung, busuk dan mesum.
Kemesuman makin keras terbau di atas Stasiun Senen. Penuh ragu Nabi hinggap di atas atap seng, sementara Jibril membuat lingkaran manis di atas gerbong-gerbong kereta Daerah planet.
Pelacur-pelacur dan sundal-sundal asyik berdandan. Bedak-bedak penutup bopeng, gincu merah murahan dan pakaian pengantin bermunculan.
Di bawah-bawah gerbong, beberapa sundal tua mengerang –lagi palang merah– kena raja singa. Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta mengisap nanah. Senja terkapar menurun, diganti malam bertebar bintang di sela-sela awan. Pemuda tanggung masuk kamar mandi berpagar sebatas dada, cuci lendir. Menyusul perempuan gemuk penuh panu di punggung, kencing dan cebok. Sekilas bau jengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, masih main akrobat di ranjang reot.
Di kamar lain, bandot tua asyik… di atas perut perempuan muda 15 tahun. Si perempuan … dihimpit sibuk cari … dan … lagu melayu.
Hansip repot-repot …
“Apa yang Paduka renungi.”
“Di negeri dengan rakyat Islam terbesar, mereka begitu bebas berbuat cabul!” Menggeleng-gelengkan kepala.
“Mungkin pengaruh adanya Nasakom! Sundal-sundal juga soko guru revolusi,” kata si Nabi palsu.
“Ai, binatang hina yang melata. Mereka harus dilempari batu sampai mati. Tidakkah Abu Bakar, Umar dan Usman teruskan perintahku pada kiai-kiai di sini? Berzina, laangkah kotor bangsa ini. Batu, mana batu!!”
“Batu-batu mahal di sini. Satu kubik 200 rupiah, sayang bila hanya untuk melempari pezina-pezina. Lagipula….”
“Cari di sungai-sungai dan di gunung-gunung!”
“Batu-batu seluruh dunia tak cukup banyak guna melempari pezina-pezinanya. Untuk dirikan masjid pun masih kekurangan, Paduka lihat?”
“Bagaimanapun tak bisa dibiarkan!” Nabi merentak.
“Sundal-sundal diperlukan di negeri ini ya, Rasul.”
“Astaga! Sudahkah Iblis menguasai dirimu Jibril?”
“Tidak Paduka, hamba tetap sadar. Dengarlah penuturan hamba. Kelak akan lahir sebuah sajak, begini bunyinya :
Pelacur-pelacur kota Jakarta
Naikkan tarifmu dua kali
dan mereka akan kelabakan
mogoklah satu bulan
dan mereka akan puyeng
lalu mereka akan berzina
dengan istri saudaranya
“Penyair gila! Cabul!”
“Kenyataan yang bicara. Kecabulan terbuka dan murah justru membendung kecabulan laten di dada-dada mereka.” Muhammad membisu dengan wajah bermuram durja.
Di depan toko buku ‘Remaja’ suasana meriak kemelut, ada copet tertangkap basah. Tukang-tukang becak mimpin orang banyak menghajarnya ramai-ramai. Si copet jatuh bangun minta ampun meski hati geli menertawakan kebodohannya sendiri: hari naas, ia keliru jambret dompet kosong milik kopral sedang preman kosong milik Kopral setengah preman. Hari naas selalu berarti tinju-tinju, tendangan sepatu dan cacian tak menyenangkan baginya. Tapi itu rutin–. Polisi-polisi Senen tak acuh melihat tontonan sehari-hari: orang mengeroyok orang sebagai kesenangan. Mendadak sesosok baju hijau muncul, menyelak di tengah. Si copet diseret keluar dibawa entah kemana.
Orang-orang merasa kehilangan mainan kesayangannya, melongo.
“Dia jagoan Senen; anak buah Syafii, raja copet!”
“Orang tadi mencuri tidak?” Pandangan Nabi penuh selidik.
“Betul. Orang sini menyebutnya copet atau jambret.”
“Kenapa mereka hanya sekali pukul si tangan panjang? Mestinya dipotong tangan celaka itu. Begitu perintah Tuhan kepadaku dulu.”
“Mereka tak punya pedang, ya Rasul.”
“Toh, bisa diimpor!”
“Mereka perlu menghemat devisa. Impor pedang dibatasi untuk perhiasan kadet-kadet Angkatan Laut.”
“Lalu dengan apa bangsa ini berperang?”
“Dengan omong kosong dan bedil-bedil utangan dari Rusia.”
“Negara kapir itu?”
“Ya, sebagian lagi dari Amerika. Negara penyembah harta dan dolar.”
“Sama jahat keduanya pasti!”
“Sama baik dalam mengaco dunia dengan kebencian.”
“Dunia sudah berubah gila!” Mengeluh.
“Ya, dunia sudah tua!”
“Padahal Kiamat masih lama.”
“Masih banyak waktu ya, Nabi!”
“Banyak waktu untuk apa?”
“Untuk mengisi kesepian kita di sorga.”
“Betul, betul, sesungguhnya tontonan ini mengasyikkan, meskipun kotor. Akan kuusulkan dipasang TV di sorga.”
Kedua elang terbang di gelap malam.
“Jibril! Coba lihat! Ada orang berlari-lari anjing ke sana! Hatiku tiba-tiba merasa tak enak.”
“Hamba berperasaan sama. Mari kita ikuti dia, ya Muhammad.”
Sebentar kemudian di atas sebuah pohon pinang yang tinggi mereka bertengger. Mata tajam mengawasi gerak-gerik orang berkaca mata.
“Siapa dia? Mengapa begitu gembira?”
“Jenderal-jenderal menamakannya Durno, Menteri Luar Negeri merangkap pentolan mata-mata.”
“Sebetulnya siapa menurut kamu?”
“Dia hanya Togog. Begundal raja-raja angkara murka.”
“Ssst! Surat apa di tangannya itu?”
“Dokumen.”
“Dokumen?”
“Dokumen Gilchrist, hamba dengar tercecer di rumah Bill Palmer.”
“Gilchrist? Bill Palmer? Kedengarannya seperti nama kuda!”
“Bukan, mereka orang-orang Inggris dan Amerika.”
“Ooh.”
Di bawah sana Togog melonjak kegirangan. Sekali ini betul-betul makan tangan, nemu jimat gratis. Kertas kumal mana ia yakin bakal bikin geger dunia. Tak henti-henti diciuminya jimat wasiat itu.
Angannya mengawang, tiba-tiba senyum sendiri.
“Sejarah akan mencatat dengan tinta emas: Sang Togog berhasil telanjangi komplotan satria-satria pengaman Baginda Raja.”
Terbayang gegap gempita pekik sorak rakyat pengemis di lapangan Senayan.
“Hidup Togog, putra mahkota! Hidup Togog, calon baginda kita!”
Sekali lagi ia senyum-senyum sendiri. Baginda Tua hampir mati, raja muda togog segera naik takhta, begitu jenderal selesai-selesai dibikin mati kutunya.
Pintu markas BPI ditendang keras-keras tiga kali. Itu kode!
“Apa kabar Yang Mulia Togog?”
“Bikin banyak-banyak fotokopi dari dokumen ini! Tapi awas, top secret. Jangan sampai bocor ke tangan dinas-dinas intel lain. Lebih-lebih intel AD.”
“Tapi ini otentik apa tidak, Pak Togog? Pemeriksaan laboratoris…?”
“Baik, baik Yang Mulia” Pura-pura ketakutan.
“Nah, kan begitu. BPI-Togog harus disiplin dan taat tanpa reserve pada saya tanpa hitung-hitung untung atau rugi. Semua demi revolusi yang belum selesai!”
“Betul, Pak, eh, Yang Mulia.”
“Jadi kapan selesai?”
“Seminggu lagi, pasti beres.”
“Kenapa begitu lama?”
“Demi security, Pak. Begitu saya baca dari buku-buku komik detektif.”
“Bagus, kau rajin meng-up-grade otak. Soalnya begini, saya mesti lempar kopi-kopi itu di depan hidung para panglima waktu meeting dengan PBR. Gimana?”
“Besok juga bisa, asal uang lembur…,” sembari membuat gerak menghitung uang dengan jari-jarinya.
Togog meluruskan seragam-dewannya. Dan gumpalan uang puluhan ribu keluar dari kantong belakang. Sambil tertawa senang ditepuk-tepuknnya punggung pembantunya.
“Diam! Diam! Dokumen ini bakal bikin kalang kabut Nekolim dan antek-anteknya dalam negeri.”
“Siapa mereka?”
“Siapa lagi? Natuurlijk de— ‘our local army friends’. Jelas toh?”
Sepeninggal Togog jimat ajaib ganti berganti dibaca jin-jin liar atau setan-setan bodoh penyembah Dewa Mao nan agung. Mereka jadi penghuni markas BPI secara gelap sejak bertahun-tahun.
Syahdan desas-desus makin laris seperti nasi murah. Rakyat jembel dan kakerlak-kakerlak baju hijau rakus berebutan, melahap tanpa mengunyah lagi.
“Soekarno hampir mati lumpuh, jenderal kapir mau coup, bukti-bukti lengkap di tangan partai!”
***
Sayang, ramalan dukun-dukun Cina sama sekali meleset. Soekarno tidak jadi lumpuh, pincang sedikit cuma. Dan pincang tak pernah bikin orang mati. Tanda kematian tak kunjung tampak, sebaliknya Soekarno makin tampak muda dan segar.
Kata orang dia banyak injeksi H-3, obat pemulih tenaga kuda. Kecewalah sang Togog melihat baginda raja makin rajin pidato, makin gemar menyanyi, makin getol menari dan makin giat menggilir ranjang isteri-isteri yang entah berapa jumlahnya.
Hari itu PBR dan Togog termangu-mangu berdua di Bogor. Briefing dengan Panglima-panglima berakhir dengan ganjalan-ganjalan hati yang tak lampias.
“Jangan-jangan dokumen itu palsu, hai Togog.” PBR marah-marah.
“Akh, tak mungkin Pak. Kata pembantu saya, jimat tulen.”
“Tadinya sudah kau pelajari baik-baik?”
“Sudah pak. Pembantu-pembantu saya bilang, siang malam mereka putar otak dan bakar kemenyan.”
“Juga sudah ditanyakan pada dukun-dukun klenik?”
“Lebih dari itu, jailangkung bahkan memberi gambaran begitu pasti!”
“Apa katanya?”
“Biasa, de bekendste op vrije voeten gesteld, altjid…!”
“Akh, lagi-lagi dia. Nasution sudah saya kebiri dengan embel-embel –. Dia tidak berbahaya lagi.
“Ya, tapi jailangkung bilang CIA yang mendalangi ‘our local army friends’.”
“Gilchrist toh orang Inggris, kenapa CIA dicampuradukkan!”
“Begini, Pak. Mereka telah berkomplot. Semua gara-gara kita– kawan Mao buka front baru dengan konfrontasi Malaysia.”
“Dunia tahu, Hanoi bisa bernapas sekarang. Paman Ho agak bebas dari tekanan Amerika.”
“Kenapa begitu?”
“Formil kita berhadapan dengan Inggris-Malaysia. Sesungguhnya Amerika yang kita rugikan: mereka harus memecah armadanya jadi dua. Sebagian tetap mengancam RRT lainnya mengancam kita!”
“Mana lebih besar yang mengancam kita atau RRC?” Ada suara cemas.
“Kita. Itu sebabnya AD ogah-ogahan mengganyang Malaysia. Mereka khawatir Amerika menjamah negeri ini. “
Soekarno tunduk. Keterangan Togog membuatnya sadar telah ditipu mentah-mentah sahabat Cinanya. Kendornya tekanan Amerika berarti biaya pertahanan negeri Cina dapat ditransfer ke produksi. Dan Indonesia yang terpencil jadi keranjang sampah raksasa buat menampung barang-barang rongsokan Cina yang tak laku di pasaran.
Kiriman bom atom –upah mengganyang Malaysia– tak ditepati oleh Chen-Yi yang doyan omong kosong. Tiba-tiba PBR naik pitam.
“Togog, panggil Duta Cina kemari. Sekarang!”
“Persetan dengan tengah malam. Bawa serdadu-serdadu pengawal itu semua kalau kamu takut.”
Seperti maling kesiram air kencing togog berangkat di malam dingin kota bogor. Angan-angan untuk seranjang dengan gundiknya yang di Cibinong buyar. Dua jam kemudian digiring masuk seorang Cina potongan penjual bakso. Dia cuma pakai piyama, mulutnya berbau angciu dan keringatnya berbau daging babi.
“Ada apa malam-malam panggil saya? Ada rejeki nih!” Duta Cina itu sudah pintar ngomong Indonesia. Dan PBR senang pada kepintarannya.
“Betul, kawan. Malam ini juga kau harus pulang ke negeri leluhur. Dan jangan kembali kemari sebelum dibekali oleh-oleh dari Chen Yi. Ngerti tuh?”
“Buat apa bom atom, sih?” Duta Cina mengingat kembali instruksi dari Peking, “tentaramu belum bisa merawatnya. Jangan-jangan malah terbengkalai jadi besi tua dan dijual ke Jepang. Akh, sahabat Ketua Mao; lebih baik kau bentuk angkatan kelima. Bambu runcing lebih cocok untuk rakyatmu.”
“Gimana ini, Togog?”
“Saya khawatir bambu runcing lebih cocok untuk bocorkan isi perut Cina WNA disini,” Togog mendongkol.
“Jelasnya?” tanya PBR dan Duta Cina serentak.
“Amerika mengancam kita gara-gara usul pemerintah kamu supaya Malaysia diganyang. Ngerti, tidak?” (Cina itu mengangguk). Dan sampai sekarang pemerintahmu cuma nyokong dengan omong kosong!”
“Kami tidak memaksa, Bung! Kalau mau stop konfrontasi, silakan.”
“Tidak mungkin!” PBR meradang, betul or tidak, Gog?”
“Akur, pak! Konfrontasi mesti jalan terus. Saya jadi punya alasan berbuat nekad.”
“Nekad bagaimana?” Cina menyipitkan matanya yang sudah sipit.
“Begitu Amerika mendarat akan saya perintahkan potong leher semua Cina-cina WNA.” Menggertak.
“Ah, jangan begitu kawan Haji Togog. Anda kan orang beragama!”
“Masa bodoh. Kecuali kalau itu bom segera dikirim.”
“Baik, baik. Malam ini saya berangkat.”
PBR mau tak mau kagum akan kelihaian Togog. Mereka berangkul-rangkulan.
“Kau memang Menteri Luar Negeri terbaik di dunia.”
“Tapi Yani jenderal terbaik, kata Bapak kemarin.”
“Memang ada apa rupanya? Apa dia ogah-ogahan juga ganyang malaysia?”
“Maaf PYM hal ini kurang jelas. Faktanya keadaan berlarut-larut hanya menguntungkan RRC.”
“Yani ragu-ragu?”
“Begitulah. Sebab PKI ikut jadi sponsor pengganyangan. Sedangkan mayoritas AD anggap aksi ini tak punya dasar.”
“Lalu CIA dengan ‘our local army friends’ nya mau apa?”
“Konfrontasi harus mereka hentikan. Caranya mana kita bisa tebak? Mungkin coba-coba membujuk dulu lewat utusan diplomat penting. Kalau gagal cara khas CIA akan mereka pakai.”
“Bagaimana itu?”
“Unsur-unsur penting dalam konfrontasi akan disingkirkan. Soekarno-Subandrio-Yani dan PKI harus lenyap!”
Sang PBR mengangguk-angguk karena ngantuk dan setuju pada analisia buatan Togog.
Hari berikutnya berkicaulah Togog di depan rakyat jembel yang haus, penjual obat pinggir jalan, ia berpidato. Ia sering lupa mana propaganda dan mana hasil gubahan sendiri.
“Saudara-saudara, di saat ini ada bukti-bukti lengkap di tangan PYM Presiden PBR tentang usaha Nekolim untuk menghancurkan kita. CIA telah… dengan barisan algojonya yang bercokol dalam negeri untuk menyingkirkan musuh-musuh besarnya. Waspadalah saudara-saudara. Soekarno-Subandrio-Yani dan rakyat progresif-revolusioner lainnya akan mereka musnahkan dari muka bumi. Tiga orang ini justru dianggap paling berbahaya untuk majikan mereka di London dan Washington.
“Tapi jangan gentar, Saudara-saudara! Saya sendiri tidak takut demi Presiden/PBR dan demi revolusi yang belum selesai. Saya rela berkorban jiwa raga. Sekali lagi tetaplah waspada. Sebab algojo-algojo tadi ada di antara Saudara-saudara.”
Rakyat bersorak kegirangan. Bangga punya Wakil Perdana Menteri berkaliber Togog yang tidak gentar mati. Sejenak mereka luput perut-perut lapar ditukar dengan kegemasan dan geram meluap-luap atas kekurangajaran nekolim.
Rapat diakhiri dengan membakar orang-orangan berbentuk Tengku sambil menari-nari. Bendera-bendera Inggris dan Amerika yang susah payah dijahit perempuan-perempuan mereka di rumah, diinjak-injak dan dirobek penuh rasa kemenangan dan kepuasan luar biasa.
Setelah bosan mereka bubar satu-satu. Tinggal pemuda-pemudanya yang melantur kesana kemari, bergaya tukang copet. Mereka ingin mencari tahu algojo-algojo Nekolim yang dikatakan Togog barusan.
Di Harmoni segerombolan tukang becak asyik kasak-kusuk, bicara politik. Kalau di Rusia Lenin bilang koki juga mesti melek politik, di Jakarta tukang-tukang becak juga keranjingan ngomong politik.
“Katanya Dewan Jenderal mau coup. Sekarang Yani mau dibunuh, mana yang benar?”
“Dewan Jenderal siapa pemimpinnya?”
“Pak Yani, tentu.”
“Jadi Yani akan bunuh Yani. Gimana, nih?”
“Aaah! Sudahlah. Kamu tahu apa.” Suara sember.
“Untung Menteri Luar Negeri kita jago. Rencana nekolim bisa dibocorin.”
“Dia nggak takut mati?”
“Tentu saja kapan dia sudah puas hidup. Berapa perawan dia ganyang!” suara sember menyela lagi.
Yang lain-lain tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak Menteri mengganyang perawan dan isteri orang.
***
Pengganyangan Malaysia yang makin bertele-tele segera dilaporkan PBR ke Peking.
“Kawan-kawan seporos, harap bom atom segera dipaketkan, jangan ditunda-tunda. Tentara kami sudah mogok berperang, jenderal-jenderal asyik ngobyek cari rejeki dan prajurit-prajurit sibuk ngompreng serta nodong.
Jawaban dari Peking tak kunjung datang. Yang datang membanjir hanya tekstil, korek api, senter, sandal, pepsodent, tusuk gigi dan barang-barang lain bikinan cina.
Soekarno tiba-tiba kejatuhan ilham akan pentingnya berdiri di atas kaki sendiri. Rakyat yang sudah lapar dimarahi habis-habisan karena tak mau makan lain kecuali beras.
“Padahal saudara-saudara. Saya tahu banyak sekali makanan bervitamin selain beras. Ubi, jagung, singkong, tikus, bekicot, dan bahkan kadal justru obat eksim yang paling manjur. Saya sendiri dikira makan nasi tiap hari? Tidak! PBR-mu ini cuma kadang-kadang makan nasi sekali sehari. Bahkan sudah sebulan ini tidak makan daging. Tanya saja Jenderal Saboer!”
“Itu Pak Leimena di sana (menunjuk seorang kurus kering). Dia lebih suka makan sagu daripada nasi. Lihat Pak Seda bertubuh tegap (menunjuk seorang bertubuh kukuh mirip tukang becak), dia tak bisa kerja kalau belum sarapan jagung.”
Paginya ramai-ramai koran memuat daftar menteri-menteri yang makan jagung. Lengkap dengan sekalian potretnya.
Sayang, rakyat sudah tidak percaya lagi, mereka lebih percaya pada pelayan-pelayan istana. Makan pagi Soekarno memang bukan nasi, tapi roti panggang bikinan Perancis di HI. Guna mencegah darah tingginya kumat, dia memang tak makan daging. Terpaksa hanya telor goreng setengah matang dicampur sedikit madu pesanan dari Arab sebagai pengiring roti. Menyusul buah apel kiriman Kosygin dari Moskow.
Namun rakyat tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak seorang presiden harus bohong dan buka mulut seenaknya. Rakyat Indonesia rata-rata memang pemaaf dan baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan dada lapang.
Hati mereka bagai mencari, betapa pun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi. ***
(Dikutip dari: Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipandjikusmin: 17-41, 2004, MELIBAS: Jakarta).