SITTI
NURBAYA
Kasih Tak
Sampai
Judul
: Siti Nurbaya ( Kasih Tak Sampai )
Pengarang :Marah Rusli
Penerbit
: Balai Pustaka
Cetakan : 30
Tahun Terbit : 2001
Seri BP
: 575
Tempat Terbit
: Jakarta
Tebal Buku : 271 halaman; 21 cm
Angkatan : Balai Pustaka/Periode 1920-an
SINOPSIS
Seorang penghulu di Padang bernama Sutan Mahmud Syah dengan istrinya, Sitti Maryam, yang berasal dari orang kebanyakan, mempunyai seorang anak tunggal laki-laki bernama Samsulbahri. Rumah Sultan Mahmud Syah dekat dengan rumah seorang saudagar kaya bernama Baginda Sulaiman yang mempunyai seorang anak perempuan tunggal bernama Sitti Nurbaya. Mereka itu sangat karib sehingga seperti kakak beradik saja.
Pada
suatu hari setelah pulang dari sekolah,
Samsulbahri mengajak Siti Nurbaya bertamasya ke gunung Padang bersama dua orang
temannya, yakni Zainularifin, anak Hopjaksa Sutan Pamuncak dan Muhammad Baktiar
anak guru kepala sekolah Bumiputra kelas II di belakang Tangsi. Keduanya teman
sekolah Samsulbahri, yang tiga bulan lagi akan pergi bersama ke Jakarta, meneruskan
pelajarannya; Samsulbahri dan Arifin akan melanjutkan di Sekolah Dokter Jawa,
sedangkan Baktiar pada sekolah Opseter (KWS).
Pada
hari yang akan ditentukan, berangkatlah mereka bertamasya ke gunung Padang. Di gunung Padang itulah Samsu
menyatakan cintanya ke Nurbaya, dan mendapat balasan. Sejak itulah mereka
mengadakan perjanjian akan hidup semati.
Pada
suatu hari yang telah ditentukan, berangkatlah Samsu bersama kedua temannya
melanjutkan sekolah ke Jakarta.
Samsu satu sekolah dengan Arifin. Nurbayapun sedih akan kepergian kekasihnya
ini.
Di padang ada seorang yang
sangat kaya bernama Datuk Maringgih. Ia selalu berbuat kejahatan secara halus
sehingga tidak diketahui orang lain. Kekayaannya itu didapatnya dengan cara
yang tidak halal. Untuk itu ia mempunyai banyak kaki tangan, antara lain
Pendekar Tiga, Pendekar Empat, dan Pendekar Lima.
Melihat
kekayaan Baginda Sulaiman, Datuk Maringgih merasa tidak senang, maka semua
kekayaan Baginda Sulaiman diputuskan akan dilenyapkan. Melalui perantaraan para
kaki tangannya itu, dibakarlah tiga buah toko serta perahu-perahu yang penuh
berisi muatan ditenggelamkan.
Untuk
memperbaiki perdagangannya itu, Baginda Sulaiman meminjam uang kepada Datuk
Maringgih sebanyak sepuluh ribu rupiah, karena untuk mengembalikan uang
pinjaman, ia masih mempunyai harapan atas hasil kebun kelapanya. Akan tetapi,
alangkah terkejutnya ketika diketahuinya semua pohon kelapanya sudah tidak berbuah
lagi. Kebun kelapa itu oleh para kaki tangan Datuk Maringgih diberi
obat-obatan, sehingga pohon kelapanya tidak ada yang berbuah sedikit pun. Di
samping itu, karena hasutan kaki tangan Datuk Maringgih semua langganan yang
telah berhutang kepada Baginda Sulaiman mengingkari hutangnya. Dengan demikian,
tiba-tiba Baginda Sulaiman menjadi orang yang sangat melarat, sehingga ia tidak
dapat membayar hutang yang sepuluh ribu rupiah. Barang-barang yang masih ada
hanya kira-kira seharga tujuh ribu rupiah.
Karena
Baginda Sulaiman tak dapat membayar hutang, maka Datuk Maringgih bermaksud
hendak menyita barang-barang milik Baginda Sulaiman, kecuali jika Nurbaya
diserahkan kepada datuk Maringgih sebagai istrinya. Mula-mula Nurbaya tidak
sudi, tetapi ketika melihat ayahnya
digiring hendak dimasukkan penjara, maka secara terpaksalah ia mau menjadi
istri Datuk, walaupun sebenarnya hatinya sangat benci kepadanya. Selanjutnya
kejadian yang menimpa diri ayah dan dirinya sendiri itu segera diberitahukan
oleh Nurbaya kepada Samsu di Jakarta.
Setelah
setahun di Jakarta, menjelang bulan Puasa,
pulanglah Samsu ke Padang.
Setelah menjumpai orang tuanya, pergilah ia ke rumah Baginda Sulaiman, setelah
ia mendengar dari ibunya bahwa Baginda Sulaiman sakit. Sesampainya ke tempat yang
dituju, dijumpainya Baginda Sulaiman sedang berbaring karena sakit. Tak lama
setelah kedatangan Samsu itu, datanglah Nurbaya karena ayahnya mengharapkan
kedatangannya. Maka berjumpalah Samsu dengan Nurbaya.
Suatu
malam bertemulah Samsu dengan Nurbaya
dan pertemuan ini terjadi sampai malam hari. Keduanya asyik sehingga
tidak mengetahui bahwa gerak-gerik mereka itu sedang diikuti oleh Datuk
Maringgih beserta kaki tanganya. Karena tidak tahan menahan rindunya, maka
mereka pun berciuman. Pada waktu itulah Datuk Maringgih mendapatkan mereka dan
terjadilah percekcokan. Mendengar kata-kata pedas dari Samsu, maka Datuh
Maringgih memukulkan tongkatnya sekeras-kerasnya kepada Samsu. Akan tetapi
Samsu bisa menghindar sambil menyeret Nurbaya. Dengan segera Samsu menendangnya,
tersungkurlah Datuk Maringgih, karena kesakitan
berteriaklah ia minta tolong. Mendengar teriakan Datuk Maringgih itulah
maka pada saat itu juga keluarlah Pendekar Lima dari persembunyiannya dengan
membawa sebilah keris.
Melihat
Pendekar Lima membawa keris, berteriaklah Nurbaya sehingga teriakan itu
terdengar oleh para tetangga dan Baginda Sulaiman yang sedang sakit. Karena
disangkanya Nurbaya mendapat kecelakaan, maka bangkitlah Baginda dan pergi ke
tempat anaknya tetapi karena kurang hati-hati, terperosoklah ia jatuh,
sehingga menyebabkan Baginda Sulaiman
meninggal. Ia dikebumikan di gunung Padang.
Pada
waktu Pendekar Lima
hendak menikam Samsu, menghindarlah Samsu ke samping dan pada saat itu juga ia
berhasil menyepak tangan Pendekar Lima, sehingga keris yang ada di tangannya
terlepas. Sementara itu datanglah para tetangga yang mendengar teriakan Nurbaya
tadi. Melihat mereka itu datang, larilah ia menyelinap ke tempat yang gelap.
Di
antara para tetangga yang datang itu, kelihatan pula Sutan Mahmud Syah yang
hendak menyelesaikan peristiwa itu. Setelah ia mendengarkan penjelasan Datuk
Maringgih tentang hal anaknya itu maka Samsu pun diajak pulang, dan karena malunya maka diusirlah Samsu tanpa
dipikirkan terlebih dahulu. Pada malam itu juga secara diam-diam pergilah Samsu
ke Teluk Bayur untuk naik kapal pergi ke Jakarta.
Pada pagi harinya ributlah Sitti Maryam mencari anaknya. Setelah gagal
mencarinya, maka dengan sedihnya, ia pergi ke runah saudaranya di
Padangsepanjang.
Sejak
kematian ayahnya, Nurbaya menunjukkan kekerasan hatinya kepada Datuk Maringgih.
Ia berani mengusirnya dan tak sudi mengaku suaminya lagi. Dengan rasa geram
hati dan dendam, pulanglah Datuk Maringgih ke rumahnya dan ia ingin sekali
membunuh Nurbaya.
Setelah
peristiwa pertengkaran dengan Datuk Maringgih itu, Nurbaya tinggal di rumah
saudara sepupunya yang bernama Alimah. Di rumah itulah Nurbaya mendapat
petunjuk dan nasihat, antara lain ialah agar ia pergi ke Jakarta bersama Pak Ali yang telah berhenti
ikut Sutan Mahmud sejak pengusiran diri atas Samsu. Kepada Samsu pun ia
memberitahukan kedatangannya itu. Tapi malang
bagi Nurbaya karena percakapannya dengan Alimah didengar oleh kaki tangan Datuk
Maringgih yang memang sengaja memata-matainya.
Pada
pagi hari yang telah ditetapkan berangkatlah Nurbaya dengan Pak Ali ke Teluk
Bayur untuk segera naik kapal menuju Jakarta.
Mereka tidak mengetahui bahwa mereka itu diikuti oleh Pendekar Tiga dan
Pendekar Lima. Setelah Nurbaya dan Pak Ali naik ke kapal dan mencari tempat
yang tersembunyi dekat kapten kapal, maka berkatalah Pendekar Lima kepada
Pendekar Tiga bahwa ia akan mengikuti perjalanan Nurbaya ke Jakarta, sedang
Pendekar Tiga disuruhnya pulang untuk memberitahukan peristiwa itu kepada Datuk
Maringgih. Setelah itu Pendekar Lima pun naik ke kapal dan mencari tempat yang
tersembunyi pula.
Pada
suatu saat tatkala orang menjadi ribut akibat ombak yang sangat besar, pergilah
Pendekar Lima
mencari tempat Nurbaya. Setelah ia mendapatinya, ia segera menyeret Nurbaya
hendak membuangnya ke dalam laut. Melihat kejadian itu Pak Ali membelanya,
tetapi ia pun mendapat pukulan Pendekar Lima
dan tak mampu melawannya karena Pendekar Lima jauh lebih kuat. Nurbaya pun
berteriak dan ia jatuh pingsan. Teriakannya itu terdengar oleh orang yang ada dalam
kapal, lebih-lebih kapten kapal. Karena takut ketahuan maka Pendekar Lima lari
menyembunyikan dirinya, Nurbaya akhirnya diangkut orang ke suatu kamar untuk
dirawat.
Akhirnya
kapal pun tiba di Jakarta.
Di pelabuhan Tanjung Priok Samsu sudah gelisah menantikan kedatangan kapal uang
ditumpangi oleh kekasihnya itu. Setelah kapal itu merapat ke darat, maka
naiklah Samsu ke kapal dan mencari Nurbaya. Alangkah terkejutnya tatkala ia
mendengar dari kapten kapal dan Pak Ali tentang peristiwa yhang terjadi atas
diri Nurbaya. Dengan di antar kapten kapal dan Pak Ali, pergilah Samsu ke kamar
tempat Nurbaya dirawat.
Pada
saat itu tiba-tiba datanglah polisi mencari Nurbaya. Setelah berjumpa dengan
kapten kapal dan Samsu, diberitahukan kepada mereka itu bahwa kedatangannya
mencari Nurbaya ialah atas perintah atasannya yang telah mendapat telegram dari
Padang, bahwa ada seorang wanita bernama Sitti Nurbaya telah melarikan diri
dengan membawa barang-barang berharga milik suaminya dan diharapkan agar orang
itu ditahan dan dikirimkan kembali ke Padang. Mendengar itu mengertilah Samsu
bahwa hal itu tidak lain adalah akal busuk Datuk Maringgih belaka, ia pun minta
kepada polisi agar hal tersebut jangan diberitahukan dahulu kepada Nurbaya,
mengingat akan kesehatannya yang menghawatirkan. Ia minta kepada polisi agar
kekasihnya dirawat dahulu di Jakarta sampai
sembuh sebelum kembali ke Padang.
Permintaan Samu dikabulkan setelah dokter yang memeriksanya menganggap akan
perlunya perawatan Nurbaya. Setelah
Nurbaya sembuh, barulah diberitahukan hal itu kepada kekasihnya, kabar itu
diterima oleh Nurbaya dengan tenang hati. Ia bermaksud kembali ke Padang untuk menyelesaikan
masalah yang didakwakan atas dirinya. Setelah permintaan Samsu kepada yang
berwajib agar perkara ini bisa diperiksa di Jakarta tidak dikabulkan, maka pada
hari yang ditentukan , berangkatlah Nurbaya ke Padang dengan diantar oleh yang
berwajib. Dalam pemeriksaan di Padang
ternyata Nurbaya tidak bersalah sehingga ia dibebaskan.
Pada
suatu hari walaupun tidak disetujui Alimah, Nurbaya membeli kue yang dijajakan
oleh Pendekar Empat yang menyamar. Kue yang sengaja disediakan khusus untuk
Nurbaya itu telah diisi racun. Setelah penjajak kue itu pergi, Nurbaya makan
kue yang baru saja dibelinya. Setelah makan kue itu terasa oleh Nurbaya
kepalanya pening. Tidak lama kemudian Nurbaya meninggal secara mendadak,
terkejutlah ibu Samsu, yang pada waktu itu sedang sakit keras, sehingga
menyebabkan kematiannya. Kedua jenasah itu dikebumikan di gunujng Padang di samping makam
Baginda Sulaiman.
Kabar
kematian Sitti Maryam dan Nurbaya dikawatkan kepada Samsu di Jakarta. Membaca
telegram yang sangat menyedihkan, Samsu memutuskan bunuh diri karena tidak ada
gunanya ia berada di dunia ini karena kedua wanita yang disayangi telah berpulang,
Samsu memutuskan untuk membunuh diri. Sebelum hal itu dilakukan ia menulis surat untuk ayah, para
guru dan kawan-kawannya, untu meminta diri berpisah selama-lamanya. Kemudian
dengan menyaku sebuah pistol, pergilah ia ke kantor pos bersama Arifin untuk memasukkan
surat yang akan
dikirimkan untuk ayahnya. Kabar yang sangat menyedihkan itu dirahasiakan oleh
Samsu sehingga Arifin tidak mengetahuinya. Sesampainya di kantor pos, Samsu
minta berpisah dengan Arifin dengan alasan bahwa ia hendak pergi ke rumah seorang
tuan yang telah dijanjikannya. Arifin memperkenankannya, tetapi dengan tidak
setahu Samsu ia mengikuti gerak-gerik sahabatnya itu, karena curiga akan maksud
sahabatnya.
Pada
suatu tempat di kegelapan, Samsu berhenti dan mengeluarkan pistolnya dan kemudian
menghadapkannya di kepalanya. Melihat itu Arifin segera mengejarnya sambil
berteriak. Karena teriakan Arifin, peluru yang meletus itu tidak sampai melukai
Samsu. Akhirnya kabar tentang seorang murid Sekolah Dokter Jawa di Jakarta yang
berasal dari Padang telah bunuh diri itu tersiar
ke mana-mana melalui surat
kabar. Kabar itu pun sampai di Padang
dan didengar oleh sutan Mahmud Syah dan Datuh Maringgih.
Karena
perwatakan yang baik, sembuhlah Samsu. Ia minta kepada yang berwajib agar
berita mengenai dirinya yang masih hidup itu dirahasiakan. Setelah itu Samsu
berhenti bersekolah, karena ia menginginkan mati, ia pun menjadi serdadu
(tentara). Ia dikirim ke mana-mana, antara lain ke Aceh untuk memadamkan
kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di sana.
Oleh karena keberaniannya, maka dalam waktu sepuluh tahun saja pangkat Samsu
dinaikkan menjadi letnan dengan nama Letnan Mas.
Pada
suatu hari Letnan Mas beserta kawannya bernama Letnan Van Sta ditugasi memimpin
anak buahnya untuk memadamkan pemberontakan mengenai masalah belasting (pajak).
Sesampainya di Padang dan sebelum terjadi pertempuran, pergilah Letnan Mas ke
makan ibu dan kekasihnya di gunung Padang.
Dalam
pertempuran dengan pemberontak, bertemulah Letnan Mas dengan Datuk Maringgih
yang termasuk sebagai salah seorang pemimpin pemberontakan. Setelah bercekcok
sebentar, maka ditembaklah Datuk Maringgih oleh Letnan Mas, sehingga menemui
ajalnya. Akan tetapi sebelum meninggal, Datuk Maringgih masih sempat
membalasnya. Dengan ayunan pedangnya, kenalah kepala Letnan Mas yang
menyebabkan ia rebah dan terjatuh. Ia rebah di atas timbunan mayat, yang antara
lain terdapat mayat Pendekar Empat dan Pendekar Lima. Kemudian Letnan Mas pun
diangkut ke rumah sakit. Karena dirasanya bahwa ia tidak lama lagi hidup di
dunia ini, maka Letnan Mas minta tolong kepada dokter yang merawatnya agar
dipanggilkan Penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmud Syah, karena
dikatakannya ada masalah yang sangat penting. Setelah Sutan Mahmud Syah datang,
maka Letnan Mas pun berkata kepadanya bahwa Samsu masih hidup dan kini berada
di Padang untuk
memadamkan pemberontakan, tetapi kini ia sedang dirawat di rumah sakit karena
luka-luka yang dideritanya saat pertempuran. Dikatakannya pula kepadanya, bahwa
Samsu sekarang bernama Mas, yakni kebalikan dari kata Sam, dan berpangkat
letnan. Akhirnya disampaikan pula kepada Sutan Mahmud, bahwa pesan anaknya
kalau ia meninggal, ia minta dikebumikan di gunung Padang di antara makam ibunya dan Nurbaya.
Setelah berkata itu, maka Letnan Mas meninggal dunia.
Setelah
hal itu ditanyakan oleh Sutan Mahmud kepada dokter yang merawatnya, barulah
Sutan Mahmud mengetahui bahwa yang baru saja meninggal itu adalah anaknya,
yakni Letnan Mas alias Samsulbahri. Kemudian dengan upacara kebesaran, baik
dari pihak pemerintah maupun dari penduduk Padang, dikuburkanlah jenasah Samsu di antara
makam Sitti Maryam dan Nurbaya seperti yang pernah dimintanya.
Sepeninggal
Samsu, karena sesal dan sedihnya, maka meninggal pula Sutan Mahmud Syah.
Jenasahnya dikebumikan dekat dengan makam istrinya, yakni Sitti Maryam. Dengan
demikian di kuburan gunung Padang terdapat lima makam yang berjajar dan
berderet, yakni kubur Baginda Sulaiman, Sitti Nurbaya, Sasmsulbahri, Sitti
Maryam, dan Sutan Mahmud.
Dua
bulan kemudian berziarahlah Arifin dan Baktiar ke makam sahabatnya itu. Arifin
telah lulus dalam ujiannya sehingga ia menjadi seorang dokter, sedangkan
Baktiar kini telah menjadi opseter.