Entri Populer

Kamis, 14 Juli 2011

Laila Majnun


LAILA MAJNUN
 SEBUAH CINTA ABADI SANG PENCINTA DAN KEKASIH
KARYA NIZAMI

            Nizami adalah seorang penyair besar Rusia pada abad ke-12 yang berhasil menciptakan sebuah karya sastra yang fenomenal. Awal penulisan novel ini adalah karena tugas semata, ia ditugaskan untuk menulis Laila Majnun oleh penguasa Kaukasia, Shirvanshah, pada tahun 1188 Masehi. Dalam pengantar aslinya, Nizami menjelaskan bahwa seorang utusan dari Shirvanshah menemuinya dan memberinya sebuah surat yang ditulis tangan oleh Sang Raja sendiri. Shirvanshah memuji Nizami sebagai penyair yang mampu menampilkan sebuah keelokan pada kata-kata terhebat di dunia, kemudian Sang Raja meminta Nizami untuk menulis sebuah epos romantis yang diambil dari cerita rakyat Arab, kisah mengenai seorang Majnun yang telah melegenda, sang penyair yang gila cinta akibat seorang gadis yang kecantikannya sangat terkenal namun Majnun tidak diijinkan untuk memiliknya.
            Sejak tenggelamnya Islam sekitas lima ratus tahun sebelumnya, legenda tentang Laila dan Majnun telah menjadi sebuah tema populer dari lagu-lagu cinta, soneta-soneta, dan syair-syair pujian masyarakat Badui di jazirah Arab. Manjun dihubungkan dengan tokoh-tokoh yang benar-benar pernah ada, yakni Qois bin al-Mulawwah, yang kemungkinan hidup dalam paruh abad ketujuh masehi di padang pasir Najd di semenanjung Arab. Pada masa Nizami, ada banyak sekali variasi pada tema mengenai Majnun yang tersebar di seluruh daerah itu, dan tidak diragukan lagi Shirvansyah telah memerintahkan seorang yang tepat untuk menulis kisah itu.
            Laila Majnun telah menduduki kedudukan penting dalam deretan kisah cinta abadi masyarakat Arab. Kisah ini dikisahkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi, sehingga kisah ini menjadi sebuah legenda yang telah menjadi buah bibir di segala penjuru dunia. Selama lebih dari seribu tahun baragam versi dari kisah tragis ini telah muncul, meskipun demikian sajak Nizami-lah yang banyak menjadi sebuah dasar.
            Kepopuleran Laila Majnun sangat dirasakan di Indonesia. Ini terbukti dari penerbit OASE Mata Air Makna yang telah menerbitkan kisah ini dari tahun 2002 hingga mencapai cetakan ke delapan pada tahun 2005. Yang pastinya karya ini tidak berhenti diterbitkan sampai sekarang karena masih banyak ditemui buku ini beredar di Indonesia. Selain itu, karya ini banyak diterbitkan oleh penerbit lain dan mendapatkan antusias yang luarbiasa dari masyarakat, sehingga buku ini mendapatkan julukan International Best Seller.
            Dalam novel ini, Nizami tidak semata menuliskan sebuah bacaan yang bertema cinta belaka. Namun lebih dari itu, ia menceritakan sebuah cinta yang nyaris sama dengan kehidupan itu sendiri, karena dalam kisah ini menyangkut hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan makhluk lainnya, dan manusia dengan sang Pencipta. Dalam kisah ini terdapat sebuah kompleksitas masalah dan emosi tokoh dalam menghadapi tantangan cinta yang tak tersampaikan. Kompleksitas masalah dan emosi itu antara lain: perasaan saat jatuh cinta dan menjalani kehidupan dengan kasih sayang yang luar biasa, kedukaan akibat perpisahan karena hubungan mereka tidak direstui, adanya keretakan hubungan antara Qois dan ayahnya karena Qois lebih memilih hidup sendiri di tengah kegelapan, kepedihan akibat kecemburuan, usaha memperebut cintanya kembali dengan cara peperangan, perasaan dikhianati cintanya karena Laila telah menikah dengan orang lain, dan kesedihan akibat ditinggalkan orang yang disayangi serta dicintainya untuk selama-lamanya.
Kisah Laila Majnun merupakan sebuah kisah dari perjalanan seorang sufi untuk sampai kepada sang Pencipta yang membawa kita pada sebuah proses panjang dengan cara mencinta, di mana kecintaan itu bisa menekan ego dan memandang seorang diri dan kekasihnya sebagai kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan. Kisah dalam Laila Majnun ini adalah sebuah kisah yang sangat tragis tentang cinta yang tidak tersampaikan antara kedua manusia. Mereka berdua adalah Qois dan Laila.
Kisah ini diawali dengan pertemuan keduannya di sekolah. Laila adalah anak seorang gadis idaman laki-laki di seluruh penjuru kabilah, dan beruntunglah Qois karena cintanya terhadap Laila disambut baik. Laila pun menyukai Qois.  Namun hubungan keduanya harus ditanggalkan karena mereka berdua tidak ingin menjadi pergunjingan masyarakat. Kemudian mereka berdua memutuskan untuk mengunci rapat-rapat hubungan mereka. Kehati-hatian mereka semakin hari semakin tak bisa dikendalikan terutama Qois. Qois tidak dapat menemukan jalan untuk keluar dari kesulitan dan kebingungan yang dialaminya. Yang dapat dilakukannya hanyalah berjalan ke sana kemari dalam keadaan tidak sadarkan diri, memuja kecantikan Laila, dan menceritakan kebaikan hati gadis itu. Semakin banyak orang berjumpa dan mendengar ucapan-ucapannya, semakin mereka mencemooh dan menertawakan dan meneriaki Qois sebagai orang gila yakni Majnun.
            Qois telah menelantarkan pendidikannya dan merendahkan harga dirinya serta menggelandang kesana kemari hanya untuk mengungkapkan cintanya kepada Laila. Syeh Omri tidak tega melihat anaknya seperti itu, banyak usaha yang telah dilakukan ayahnya demi kesembuhan anaknya termasuk pergi menunaikan haji. Namun, semuanya sia-sia setelah kepulangannya dari ibadah haji, Majnun tidak lagi betah di rumah, ia lebih memilih berkelana dan hidup sendirian di padang gurun bersama kawanan binatang buas dan ia selalu melantunkan syair-syair cintanya yang indah.
            Suatu hari datanglah kabilah Naufal yang prihatin melihat kejadian ini, kemudian ia ingin menyandingkan mereka berdua dalam suatu pernikahan. Terjadilah perang besar yang menghasilkan kemenangan pada kabilah Naufal dan ini artinya kabilah Laila harus mau menyerahkan Laila kepada kabila Naufal. Akan tetapi, ayah Laila tidak ingin menyerahkan anaknya di pelukan Qois. Qois tetap merana dalam kesendiriannya hingga tubuhnya kurus kering tak terawat.
            Di sisi lain, Laila diincar oleh seorang pemuda Arab bernama Ibnu Salam. Ibnu Salam datang melamar Laila dan diterima. Selama bersama Ibnu Salam, kesuciaan Laila tetap terjaga dan cintanya kepada Majnun tak pernah luntur sedikitpun. Ketika Majnun mendengar kabar pernikahan Laila, jiwanya seperti kapas yang tertiup angin. Majnun semakin menjadi liar dan tak terkendali. Ia terus memanggil nama Laila dan meratapi takdir yang telah memisahkan mereka. Selama masa perpisahan itu, Majnun hidup dalam goa di padang pasir dan berkawan dengan binatang-binatang. Terasing dalam kehidupan manusia dan memilih hidup untuk tetap merawat cintanya sendiri bersama binatang-binatang yang telah menemaninya selama ini.
            Di lain tempat, ayah Majnun setiap hari meratapi nasib anaknya yang malang. Semakin hari tubuhnya semakin kurus dan ia menyadari hidupnya tidak lama lagi. Kemudian ia mempunyai satu keinginan bahwa ia ingin melihat anaknya. Tidak beberapa lama setelah kunjungan ayahnya ke goa dimana Majnun tinggal terdengarlah kabar bahwa ayahnya meninggal dunia. Ini membuat keadaan Majnun semakin terpuruk.
            Laila  ingin sekali bertemu dengan Majnun, kemudian mereka berdua bertemu untuk kedua kalinya, namun saat pertemuan itu mereka berdua diam membisu. Kemudian Laila mengeluarkan syair-syair hingga Majnun meneteskan air matanya dan berbalik membalas syair-syair tersebut. Tiba-tiba Majnun lari dari hadapan Laila karena ia sudah tak kuasa menahan rasa cintanya yang membara hingga mengakibatkan pikirannya tidak terkendali karena cinta yang diberikan Majnun merupakan cinta suci.
            Setelah pertemuan itu, hati Laila semakin tak terkendali, harapannya pupus karena ia tak tahu lagi bagaimana mengembalikan Qois seperti dulu kala. Tubuhnya semakin kurus, akhirnya ia meninggal untuk selama-lamanya. Mendengar kabar kematian Laila, Qois segera berlari menuju pusara Laila. Hingga keduanya kini bersatu dalam gelap kesunyian untuk selama-lamanya dan tak ada lagi yang bisa memisahkan keduanya.
Dalam kisah ini Majnun merupakan seorang pencari cinta yang diperbudak oleh cinta itu sendiri. Ia merupakan budak cinta yang menghamba untuk diijinkan mencinta. Sedangkan Laila merupakan seorang penunggu cinta yang selalu mendamba untuk dicinta. Majnun mampu menahan egonya hingga ia mencapai suatu keadaan peniadaan diri. Ia tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri, ia lebih memperhatikan rasa cintanya yang teramat dalam pada Laila. Melalui penalaran ini sebenarnya hubungan mereka berdua lebih cocok bila direpresentasikan sebagai hubungan manusia dengan Tuhannya. Menurut hadist Qudsi, “Tuhan adalah khasanah tersembunyi, ia ingin dikenal, maka ia ciptakan semesta dan siisinya. Ia menciptakan bukan karena ia butuh kepada ciptaannya, tetapi agar ia suatu saat dikenal dan dirindu oleh makhluknya.
Cerita ini sungguh memberikan sebuah kenikmatan dan pencerahan yang luar biasa. Dalam kisah ini kita dihadapkan pada sebuah kisah perjalanan cinta yang sangat luar biasa hingga melampaui batas harga diri dan merelakan semua kehidupannya diperbudak oleh perasaan cinta. Kita disuguhi sebuah penderitaan yang ditimbulkan akibat cinta yang penuh halangan, bukan saja pada orang yang mencinta tetapi juga pada orang yang dicintai, dalam hal ini yang termasuk orang yang dicintai adalah orang tua, sanak saudara, dan  kabilah Majnun.
Apapun mampu dilakukan Majnun untuk mempertahankan cintanya kepada Laila tetap abadi. Termasuk mengasingkan diri hidup di belantara hutan. Dalam hal ini, Majnun tidak lagi memandang semua penderitaan yang ia alami sebagai kepedihan. Ia sungguh menikmati takdirnya seperti ini, takdir diperbudak oleh cinta. Cinta Majnun terhadap Laila tidak akan binasa meskipun Laila telah mati. Cinta yang terjalin di antara keduanya merupakan sebuah cinta putih dan suci yang patut diteladani dan dicontoh. Cinta Laila Majnun merupakan sebuah cinta abadi yang sudah terlepas dari hawa nafsu. Kisah ini banyak menampilkan potret-potret nilai kehidupan manusia yang sangat universal tentang arti sebuah cinta suci.


           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar