Entri Populer

Sabtu, 27 April 2013

Resensi novel Bukan Pasar Malam karya Pram



BUKAN PASAR MALAM

Judul                  : Bukan Pasar Malam
Pengarang          : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit              : Lentera Dipantara
Cetakan              : Pertama
Tahun Terbit      :  2004
Tempat Terbit    :  Jakarta
Tebal Buku        : 106 hlm; 20 cm]\
SINOPSIS
            Aku mendapatkan surat dari paman yang menyatakan bahwa ayahku sedang sakit keras. Aku ingin segera pulang ke Blora tetapi tidak mempunyai uang maka berhutanglah aku.
            Pagi-pagi aku dan istriku berangkat ke Blora dengan naik kereta api. Dalam perjalanan aku teringat akan ayah dan kenang-kenangan masa lalu. Perjalanan tidak bisa dilanjutkan maka kami bermalam di hotel.
            Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan. Aku ingin sekali memperkenalkan keindahan daerahku dengan jurang dan hutannya, dengan kijang dan monyetnya. Akupun teringat akan kenang-kenangan pada masa kecil, waktu sering bertamasya bersepeda ke luar-masuk hutan.
            Ternyata telegram yang aku kirimkan tidak sampai sehingga tidak ada yang menjemput. Sesempainya di rumah aku dan istriku disambut dengan riang oleh adik-adikku. Kami saling mengobrol dan dikala aku menyakan kabar kesehatan bapak semua berdiam diri. Dalam rumah itu juga terdapat adikku perempuan yang ketiga sedang berada di kamar yang sakit dan menangis. Akupun menghampirinya.
            Sore itu kami pergi ke rumah sakit, aku, istriku, adikku yang keempat, dan seorang adikku yang belum dewasa (ketujuh) untuk menjenguk ayah. Aku memperkenalkan istriku kepada ayah. Ayah tampak kurus sekali. Kami bercakap-cakap dengan ayah.
            Malam itu paman dan bibi datang dan mereka berniat untuk mencari pertolongan dukun karena rupanya ayahku tidak bisa ditolong lagi dari penyakitnya. Keesokan harinya, setelah magrib aku dan paman pergi ke dukun untuk meminta kesembuhan ayah. Akan tetapi, dukun itu tidak bisa mengobati ayah dan hanya memberi syarat saja yakni merendam dupa di air minum ayah.
            Rumah yang kudiami nampak miring sebagian temboknya telah runtuh. Akupun berjalan-jalan dan ketemui seorang tetangga dan kami mengobrol. Tetangga tersebut menyarankan agar aku membenahi rumah karena sangka orang tua dulu: apabila rumah itu rusak, yang menempatinya pun rusak. Akupun berniat memperbaiki dan memberitahu ayah mengenai hal ini. Ayah sangat setuju dan juga menyuruh aku untuk memperbaiki sumur serta ayah menasehati aku perkara perkawinannya dengan orang Jawa Tengah.
            Sore hari aku, isteriku, dan kedua adikku menengok ayah. Aku akan berpamitan kepada ayah tetapi ayah belum mengijinkan. Aku merasa berdosa dan menyesal karena kabar itu membuat ayah semakin bersedih hati. Sejak hari itu kesehatan ayah semakin menurun. Dalam minggu sesudah itu banyak yang dipintanya tetapi ayah tidak menjamahnya yang kemudian dipintanya yakni es.
            Dalam seminggu ini kesehatan ayah semakin menurun dam kami sekeluarga berniat untuk membawa ayah pulang agar kami bisa merawat dan menjaga ayah secara intensif.
            Nampak kelegaan pada paras ayah di kala terbaring di rumah. Sebagaimana mestinya para tetangga banyak yang berdatangan untuk melihat keadaan ayah.
            Bergantian kami menunggu ayah dengan adik-adikku. Terasa betul oleh kami betapa bahagia rasanya tidak tidur untuk kepentingan seorang ayah yang sedang tergeletak tak berdaya.
            Pagi hari kami menemukan ayah tidak bernyawa lagi kami sangat sedih akan kepergian ayah. Banyak pelawat yang datang yang semuanya memuji ayah. Ayah adalah seorang yang baik hati, berbudi luhur, dan mau berkorban demi orang lain.




KOMENTAR
            Novel karya Pramoedya Ananta Toer ini merupakan karya sastra pada periode 45-an. Dalam karya sastra ini sudah mengandung konsep humanisme universal yang berusaha memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur yang berlaku bagi setiap manusia dan setiap bangsa. Cerita ini dilatarbelakangi oleh seorang yang revolusioner yang pulang ke kampung halaman untuk menjenguk seorang ayah yang sedang sakit parah.
            Bahasa yang digunakan dalam novel ini menggunakan bahasa yang sederhana (bahasa yang sehari-hari). Sedangkan isi cerita dalam novel ini bersifat realistis, kritis, naturalisme, dan terkadang sinis, serta berjiwa revolusioner. Dalam novel ini tokoh mengkerdilkan dirinya sendiri karena ketidakberdayaan melawan takdir yang diberikan kepada keluarga mereka.
            Gaya yang digunakan pengarang sudah berbeda dengan angkatan sebelumnya. Pengarang lebih bebas dan berani dalam mengungkapkan masalah mereka dan masalah yang terjadi di negara ini. Mereka tidak lagi terikat oleh aturan-aturan yang mengekang mereka dalam berkreasi dan menghasilkan karya sastra.

Resensi novel si jamin dan si johan



Jalan Takdir Kakak-Beradik
(Resensi novel Si Jamin dan Si Johan)

Judul                  : Si Jamin dan Si Johan
Pengarang          : Merari Siregar
Penerbit              : Balai Pustaka
Cetakan              : kedua puluh satu
Tahun Terbit      :  2004
Tempat Terbit    :  Jakarta
Tebal Buku        : 102 hlm; 20 cm
Angkatan          : Balai Pustaka/20-an
SINOPSIS
            Sore itu ibu tiri Jamin dan Johan menunggui kedatangan Jamin, bukan karena kuwatir tetapi untuk meminta uang hasil jerih payah Jamin dari meminta-minta. Sebagian uang meminta-minta itu dibelikan dua bungkus nasi untuk ia dan adiknya Johan sehingga Inem marah dan menendang Jamin karena uang yang diberikan kurang. Sebenarnya Inem menyiksa Jamin dan Johan merupakan hal yang biasa karena memang wanita itu jahat dan kejam. Untung Jamin dan Johan anak yang baik dan penurut. Jamin selalu teringat akan pesan ibunya untuk selalu berada di jalan Tuhan dan menjaga adiknya, jangan sampai Jamin meninggalkan adiknya. Jamin selalu disuruh ibu tirinya untuk meminta-minta padahal Jamin tidak menginginkan hal ini. Ia masih terlalu kecil, umurnya masih sembilan tahun dan adiknya berumur tujuh tahun.
            Waktu ibunya masih hidup mereka tidak kekurangan kasih sayang dan mereka selalu dirawat dengan baik dan penuh dengan perhatian, tetapi Tuhan berkehendak lain karena penyakitnya. Ibu mereka meninggal dikarenakan banyak memikirkan suaminya yang sering mabuk. Sekarang mereka tinggal bersama ibu tirinya yang tidak pernah merawat rumah bahkan barang-barang yang ada di rumah selalu habis tergadai maupun terjual, Johan dan Jamin selalu disiksa dan tidak pernah dirawat dengan baik. Tidak itu saja Inem suka ke warung candu untuk membeli obat terlarang sehingga badannya terasa hangat dan tidak berdaya dibuat oleh candu yang ia beli dari hasil uang hasil meminta-minta Jamin.
            Bertes ayah Jamin dan Johan juga suka mabuk hingga tidak pernah lagi mengurusi kedua anaknya tadi. Bertes berasal dari Saparua, Ambon. Ia meninggalkan kota kelahirannya untuk menjadi serdadu karena ia pikir ia akan mendapatkan gaji yang sangat besar. Waktu itu kedua orang tuanya tidak merestui  tetapi Bertes tidak memperdulikan hal itu hingga ia naik jabatan menjadi sersan. Saat Bertes sakit karena peperangan di Aceh ia baru sadar bahwa ia banyak bersalah pada orang tuanya maka ia berkeinginan untuk kembali ke kampung halaman dan mencari pendamping hidup. Ternyata orang tuanya telah meninggal, ia sangat menyesal kenapa harus pergi tanpa memberi kabar. Setelah itu, ia bertemu dengan Mina dan membina hidup dengan Mina di Prinselaan, Taman Sari. Awalnya rumah tangga mereka baik-baik saja apalagi ketika mereka mempunyai dua anak laki-laki yaitu Jamin dan Johan. Akan tetapi setelah Bertes bergaul dengan orang-orang yang suka mabuk maka ia terpengaruh dan suka mabuk dan berbuat kasar. Mina mulai sakit-sakitan hingga ia meninggal dunia. Bertes juga sering menyiksa Mina bila sedang mabuk berat. Setelah Mina meninggal kemudian Bertes menikah dengan Inem yang tidak baik. Sungguh malang nasib Jamin dan Johan sudah piatu sengsara pula hidupnya.
            Ketika Inem habis mencandu, emosinya tidak dapat dikontrol lagi. Suatu ketika pagi-pagi Inem mengusir Jamin untuk meminta-minta uang sampai mendapatkan lima puluh sen baru ia boleh pulang dan apabila tidak membawa pulang uang tersebut Inem mengancam maka adiknya akan dibuang ke sungai. Jamin segera pergi untuk mencari uang tetapi sungguh sial hari itu karena sampai malam tidak dapat mengumpulkan uang tersebut. dari pasar Baru, pasar Ikan, sampai pasar Senin ia lalui namun tidak cukup juga hingga malam yang sangat dingin karena hujan. Hal itu membuat Jamin lemas apalagi ia belum makan dari pagi kecuali secuil roti yang diberi oleh teman barunya, kemudian ia pingsan.
            Keesokan harinya Jamin ditemukan oleh Kong Sui sedang terkapar tidak berdaya kemudian membawanya ke rumah. Sampai di rumah Kong Sui Jamin diberi makan, uang, dan baju untuk gantinya kemudian ia ditanyai dan ia menceritakan semua pada Kong Sui dan Fi. Kong Sui sangat kasihan pada Jamin setelah mendengar ceritanya.
            Bertes pulang dari kafe pasar Senin dengan ketakutan kerena tadi ada pertikaian sehingga seseorang tertusuk. Waktu itu Bertes sedang mabuk dan membawa pisau karena ia mabuk ia tidak tahu siapa yang melakukan hal itu apakah dia atau orang lain. Ketakutannya membuat ia lari dan bersembunyi serta menyuruh istrinya untuk berbohong apabila ada polisi datang. Disaat itulah ia baru menyadari bila hidupnya telah rusak. Ia melihat Johan dan memeluknya untuk minta maaf tetapi ia melihat Jamin tidak ada. Sekarang Bertes ingin taubat dan ia telah mengetahui keburukan istrinya. Beberapa saat kemudian datanglah polisi dan membawa Bertes untuk diperiksa.
            Setelah itu Jamin pulang karena ia telah mendapatkan uang yang diinginkan ibu tirinya, tetapi saat di depan rumah ia mendengar ayahnya ditangkap polisi. Uang itupun segera diberikan pada ibu tirinya dan memberikan makanan kepada adiknya. Namun baju yang diberikan Kong Sui diminta ibunya saat meraba celananya terasa ada cincin didalamnya, untunglah Jamin dapat merayu ibunya namun akhirnya ketahuan juga. Cincin itu adalah cincin milik nyonya Fi karena mungkin ia lupa menaruh cincin tersebut. Jamin merasa bersalah dan berjanji akan mengembalikan pada nyonya Fi.
            Suatu hari Jamin pergi ke jalan Mangga Besar, ia ingin sekali pergi ke rumah Kong Sui tetapi ia tidak mempunyai nyali karena ia tidak membawa cincin tersebut. Tiba-tiba terdengar ada yang memanggilnya yang ternyata adalah adiknya. Johan telah mendapatkan cincin itu kembali, tetapi sungguh malang ketika mereka akan sampai di rumah Kong Sui, Jamin tertabrak trem yang ada dibelakangnya karena ia berusaha menyelamatkan adiknya yang ternyata Jamin sendiri yang tertabrak.
            Johan tidak mengetahui kejadian tersebut karena ia terpelanting, Johan hanya mengetahui bahwa kakaknya terkapar dan bercucuran darah. Kemudian Jamin dibawa ke rumah sakit Glodok sedangkan Johan bingung apa yang harus dilakukannya. Ia ingin sekali pergi ke rumah sakit tetapi ia tidak mengetahui jalan yang harus dilalui. Johan menemukan cincin yang terjatuh dan ia berkeinginan untuk mengembalikan dan menceritakan kejadian yang dialami kakaknya kepada keluarga Kong Sui.
            Sesampainya di depan rumah obat milik Kong sui, Johan tidak berani masuk ke dalam rumah karena sedang ada tamu maka ia menunggu. Kemudian ia masuk dan menceritakan kejadian yang dialami oleh kakaknya dan memberikan cincin kepada nyonya Fi. Maka sekarang percayalah Kong Sui bahwa Jamin dan Johan adalah anak yang baik bukan yang seperti ia kira selama ini.
            Nyonya Fi sangat bersedih akan nasib yang dialami kedua anak tersebut. akhirnya Fi bersama Johan pergi ke rumah sakit. Jamin tak berdaya lagi dan ia berpesan agar adiknya jangan sampai pulang ke rumah karena ia takut adiknya akan disiksa lagi oleh Inem. Seisi ruangan menangis karena terharu dan iba melihat Jamin. Jamin berkata bahwa ia akan menyusul ibunya ke alam yang kekal, ia berpesan agar Johan bisa menjadi orang yang baik dan tetap beriman.
            Akhirnya Jamin meninggal dengan tenang ia dikuburkan di Mangga dua. Johan sekarang dirawat dan disekolahkan oleh keluarga Kong Sui yang tidak mempunyai anak lagi karena anak mereka sudah meninggal. Johan mendapatkan kasih sayang yang berlimpah dari keluarga Kong Sui. Beberapa bulan kemudian ayah Johan dikeluarkan dari penjara karena terbukti tidak bersalah. Kini Bertes sudah bekerja berkat bantuan dari Kong Sui dan Johan kembali ke ayahnya tetapi ia masih tetap mendapatkan pendidikan dari keluarga Kong Sui.

KOMENTAR

            Si Jamin dan Si Johan karya Merari Siregar ini merupakan karya saduran Justus Van Maurik yang berjudul Jan Smees yang digubah oleh Merari . cerita ini mendapat hadiah dalam sayembara mengarang tentang pemberantasan madat.
            Ide cerita ini adalah ajakan untuk menjauhi minuman keras dan narkoba karena hal ini dapat mengakibatkan kerusakan mental dan kemrosotan suatu bangsa dan kehidupan manusia serta dapat merusak hubungan dengan masyarakat. Ide itu sejalan dengan dengan isi Nota Rinkes yang ingin memberikan unsur pendidikan budi pekerti kepada pembaca dan tanpa adanya unsur politik serta agama.
            Selain ide tersebut di atas kita juga diajak untuk menyayangi orang lain dan mau berkorban demi kepentingan orang lain. Kita harus saling mengasihi dan menjaga satu sama lain dan tanpa menjatuhkan orang lain.

Selasa, 07 Agustus 2012

Pelajaran Mengarang oleh Seno Gumira Ajidarma 

 

Pelajaran mengarang sudah dimulai.
Kalian punya waktu 60 menit”, ujar Ibu Guru Tati.
Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama “Keluarga Kami yang Berbahagia”. Judul kedua “Liburan ke Rumah Nenek”. Judul ketiga “Ibu”.
Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pada pena kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kaca-matanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.
Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 Tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang keluar jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin kencang. Ingin rasanya ia lari keluar dari kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati menyuruhnya berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”, “Ibu”.  Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci.
Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apapaun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi, Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.
Ketika berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran diatas kasur yang spreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
“Lewat belakang, anak jadah, jangan ganggu tamu Mama,” ujar sebuah suara  dalam ingatannya, yang ingin selalu dilupakannya.
***
  
Lima belas menit telah berlalu. Sandra tak mengerti apa yang harus dibayangkanya tentang sebuah keluarga yang berbahagia.
“Mama, apakah Sandra punya Papa?”
“Tentu saja punya, Anak Setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan kalau jelas siapa belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!”
Apakah Sandra harus berterus terang? Tidak, ia harus mengarang. Namun ia tak punya gambaran tentang sesuatu yang pantas ditulisnya.
Dua puluh menit berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas. Sandra mencoba berpikir tentang sesuatu yang mirip dengan “Liburan ke Rumah Nenek” dan yang masuk kedalam benaknya adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan dimuka cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan Sandra.
“Jangan Rewel Anak Setan! Nanti kamu kuajak ke tempatku kerja, tapi awas, ya? Kamu tidak usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa, ngerti? Awas!”
Wanita itu sudah tua dan menyebalkan. Sandra tak pernah tahu siapa dia. Ibunya memang memanggilnya Mami. Tapi semua orang didengarnya memanggil dia Mami juga. Apakah anaknya begitu banyak? Ibunya sering menitipkan Sandra pada Mami itu kalau keluar kota berhari-hari entah ke mana.
Di tempat kerja wanita itu, meskipun gelap, Sandra melihat banyak orang dewasa berpeluk-pelukan sampai lengket. Sandra juga mendengar musik yang keras, tapi Mami itu melarangnya nonton.
“Anak siapa itu?”
“Marti.”
“Bapaknya?”
“Mana aku tahu!”
Sampai sekarang Sandra tidak mengerti. Mengapa ada sejumlah wanita duduk diruangan kaca ditonton sejumlah lelaki yang menujuk-nunjuk mereka.
“Anak kecil kok dibawa kesini, sih?”
“Ini titipan si Marti. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian dirumah. Diperkosa orang malah repot nanti.”
Sandra masih memandang keluar jendela. Ada langit biru diluar sana. Seekor burung terbang dengan kepakan sayap yang anggun.
***
Tiga puluh menit lewat tanpa permisi. Sandra mencoba berpikir tentang “Ibu”. Apakah ia akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang cantik. Seorang wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kanannya selalu naik keatas kursi.
Apakah wanita itu Ibuku? Ia pernah terbangun malam-malam dan melihat wanita itu menangis sendirian.
“Mama, mama, kenapa menangis, Mama?”
Wanita itu tidak menjawab, ia hanya menangis, sambil memeluk Sandra. Sampai sekarang Sandra masih mengingat kejadian itu, namun ia tak pernah bertanya-tanya lagi. Sandra tahu, setiap pertanyaan hanya akan dijawab dengan “Diam, Anak Setan!” atau “Bukan urusanmu, Anak Jadah” atau “Sudah untung kamu ku kasih makan dan ku sekolahkan baik-baik. Jangan cerewet kamu, Anak Sialan!”
Suatu malam wanita itu pulang merangkak-rangkak karena mabuk. Di ruang depan ia muntah-muntah dan tergelatak tidak bisa bangun lagi. Sandra mengepel muntahan-muntahan itu tanpa bertanya-tanya. Wanita yang dikenalnya sebagai ibunya itu sudah biasa pulang dalam keadaan mabuk.
“Mama kerja apa, sih?”
Sandra tak pernah lupa, betapa banyaknya kata-kata makian dalam sebuah bahasa yang bisa dilontarkan padanya karena pertanyaan seperti itu.
Tentu, tentu Sandra tahu wanita itu mencintainya. Setiap hari minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini atau ke plaza itu. Di sana Sandra bisa mendapat boneka, baju, es krim, kentang goreng, dan ayam goreng. Dan setiap kali makan wanita itu selalu menatapnya dengan penuh cinta dan seprti tidak puas-puasnya. Wanita itu selalu melap mulut Sandra yang belepotan es krim sambil berbisik, “Sandra, Sandra …”
Kadang-kadang, sebelum tidur wanita itu membacakan sebuah cerita dari sebuah buku berbahasa inggris dengan gambar-gambar berwarna. Selesai membacakan cerita wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji menjadi anak baik-baik.
“Berjanjilah pada Mama, kamu akan jadi wanita baik-baik, Sandra.”
“Seperti Mama?”
“Bukan, bukan seperti Mama. Jangan seperti Mama.”
Sandra selalu belajar untuk menepati janjinya dan ia memang menjadi anak yang patuh. Namun wanita itu tak selalu berperilaku manis begitu. Sandra lebih sering melihatnya dalam tingkah laku yang lain. Maka, berkelebatan di benak Sandra bibir merah yang terus menerus mengeluaran asap, mulut yang selalu berbau minuman keras, mata yang kuyu, wajah yang pucat, dan pager …
Tentu saja Sandra selalu ingat apa yang tertulis dalam pager ibunya. Setiap kali pager itu berbunyi, kalau sedang merias diri dimuka cermin, wanita itu selalu meminta Sandra memencet tombol dan membacakannya.
     
DITUNGGU DI MANDARIN
KAMAR: 505, PKL 20.00

   
Sandra tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomor kamar, dan sebuah jam pertemuan, ibunya akan pulang terlambat. Kadang-kadang malah tidak pulang sampai dua atau tiga hari. Kalau sudah begitu Sandra akan merasa sangat merindukan wanita itu. Tapi, begitulah , ia sudah belajar untuk tidak pernah mengungkapkanya.
***
Empat puluh menit lewat sudah.
“Yang sudah selesai boleh dikumpulkan,” kata Ibu guru Tati.
Belum ada secoret kata pun di kertas Sandra. Masih putih, bersih, tanpa setitik pun noda. Beberapa anak yang sampai hari itu belum mempunyai persoalan yang teralalu berarti dalam hidupnya menulis dengan lancar. Bebarapa diantaranya sudah selesai dan setelah menyerahkannya segera berlari keluar kelas.
Sandra belum tahu judul apa yang harus ditulisnya.
“Kertasmu masih kosong, Sandra?” Ibu Guru Tati tiba-tiba bertanya.
Sandra tidak menjawab. Ia mulai menulis judulnya: Ibu. Tapi, begitu Ibu Guru Tati pergi, ia melamun lagi. Mama, Mama, bisiknya dalam hati. Bahkan dalam hati pun Sandra telah terbiasa hanya berbisik.
Ia  juga hanya berbisik malam itu, ketika terbangun karena dipindahkan ke kolong ranjang. Wanita itu barangkali mengira ia masih tidur. Wanita itu barangkali mengira, karena masih tidur maka Sandra tak akan pernah mendengar suara lenguhnya yang panjang maupun yang pendek di atas ranjang. Wanita itu juga tak mengira bahwa Sandra masih terbangun ketika dirinya terkapar tanpa daya dan lelaki yang memeluknya sudah mendengkur keras sekali. Wanita itu tak mendengar lagi ketika dikolong ranjang Sandra berbisik tertahan-tahan “Mama, mama …” dan pipinya basah oleh air mata.
“Waktu habis, kumpulkan semua ke depan,” ujar Ibu Guru Tati.
Semua anak berdiri dan menumpuk karanganya di meja guru. Sandra menyelipkan kertas di tengah.
Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separo dari tumpukan karangan itu, Ibu guru Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah.
Ia memang belum sampai pada karangan Sandra, yang hanya berisi kalimat sepotong:
Ibuku seorang pelacur…
                     
Palmerah, 30 November 1991
*) Dimuat di harian Kompas, 5 Januari 1992.  Terpilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas

Sabtu, 24 September 2011

Sinopsis "Sitti Nurbaya"


SITTI NURBAYA
Kasih Tak Sampai
Judul                  : Siti Nurbaya ( Kasih Tak Sampai )
Pengarang          :Marah Rusli
Penerbit              : Balai Pustaka
Cetakan              : 30
Tahun Terbit      : 2001
Seri BP               : 575
Tempat Terbit    : Jakarta
Tebal Buku        : 271 halaman; 21 cm
Angkatan           : Balai Pustaka/Periode 1920-an

SINOPSIS

            Seorang penghulu di Padang bernama Sutan Mahmud Syah dengan istrinya, Sitti Maryam, yang berasal dari orang kebanyakan, mempunyai seorang anak tunggal laki-laki bernama Samsulbahri. Rumah Sultan Mahmud Syah dekat dengan rumah seorang saudagar kaya bernama Baginda Sulaiman yang mempunyai seorang anak perempuan tunggal bernama Sitti Nurbaya. Mereka itu sangat karib sehingga seperti kakak beradik saja.
            Pada suatu  hari setelah pulang dari sekolah, Samsulbahri mengajak Siti Nurbaya bertamasya ke gunung Padang bersama dua orang temannya, yakni Zainularifin, anak Hopjaksa Sutan Pamuncak dan Muhammad Baktiar anak guru kepala sekolah Bumiputra kelas II di belakang Tangsi. Keduanya teman sekolah Samsulbahri, yang tiga bulan lagi akan pergi bersama ke Jakarta, meneruskan pelajarannya; Samsulbahri dan Arifin akan melanjutkan di Sekolah Dokter Jawa, sedangkan Baktiar pada sekolah Opseter (KWS).
            Pada hari yang akan ditentukan, berangkatlah mereka bertamasya ke gunung Padang. Di gunung Padang itulah Samsu menyatakan cintanya ke Nurbaya, dan mendapat balasan. Sejak itulah mereka mengadakan perjanjian akan hidup semati.
            Pada suatu hari yang telah ditentukan, berangkatlah Samsu bersama kedua temannya melanjutkan sekolah ke Jakarta. Samsu satu sekolah dengan Arifin. Nurbayapun sedih akan kepergian kekasihnya ini.
            Di padang ada seorang yang sangat kaya bernama Datuk Maringgih. Ia selalu berbuat kejahatan secara halus sehingga tidak diketahui orang lain. Kekayaannya itu didapatnya dengan cara yang tidak halal. Untuk itu ia mempunyai banyak kaki tangan, antara lain Pendekar Tiga, Pendekar Empat, dan Pendekar Lima.
            Melihat kekayaan Baginda Sulaiman, Datuk Maringgih merasa tidak senang, maka semua kekayaan Baginda Sulaiman diputuskan akan dilenyapkan. Melalui perantaraan para kaki tangannya itu, dibakarlah tiga buah toko serta perahu-perahu yang penuh berisi muatan ditenggelamkan.
            Untuk memperbaiki perdagangannya itu, Baginda Sulaiman meminjam uang kepada Datuk Maringgih sebanyak sepuluh ribu rupiah, karena untuk mengembalikan uang pinjaman, ia masih mempunyai harapan atas hasil kebun kelapanya. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika diketahuinya semua pohon kelapanya sudah tidak berbuah lagi. Kebun kelapa itu oleh para kaki tangan Datuk Maringgih diberi obat-obatan, sehingga pohon kelapanya tidak ada yang berbuah sedikit pun. Di samping itu, karena hasutan kaki tangan Datuk Maringgih semua langganan yang telah berhutang kepada Baginda Sulaiman mengingkari hutangnya. Dengan demikian, tiba-tiba Baginda Sulaiman menjadi orang yang sangat melarat, sehingga ia tidak dapat membayar hutang yang sepuluh ribu rupiah. Barang-barang yang masih ada hanya kira-kira seharga tujuh ribu rupiah.
            Karena Baginda Sulaiman tak dapat membayar hutang, maka Datuk Maringgih bermaksud hendak menyita barang-barang milik Baginda Sulaiman, kecuali jika Nurbaya diserahkan kepada datuk Maringgih sebagai istrinya. Mula-mula Nurbaya tidak sudi, tetapi  ketika melihat ayahnya digiring hendak dimasukkan penjara, maka secara terpaksalah ia mau menjadi istri Datuk, walaupun sebenarnya hatinya sangat benci kepadanya. Selanjutnya kejadian yang menimpa diri ayah dan dirinya sendiri itu segera diberitahukan oleh Nurbaya kepada Samsu di Jakarta.
            Setelah setahun di Jakarta, menjelang bulan Puasa, pulanglah Samsu ke Padang. Setelah menjumpai orang tuanya, pergilah ia ke rumah Baginda Sulaiman, setelah ia mendengar dari ibunya bahwa Baginda Sulaiman sakit. Sesampainya ke tempat yang dituju, dijumpainya Baginda Sulaiman sedang berbaring karena sakit. Tak lama setelah kedatangan Samsu itu, datanglah Nurbaya karena ayahnya mengharapkan kedatangannya. Maka berjumpalah Samsu dengan Nurbaya.
            Suatu malam bertemulah Samsu dengan Nurbaya  dan pertemuan ini terjadi sampai malam hari. Keduanya asyik sehingga tidak mengetahui bahwa gerak-gerik mereka itu sedang diikuti oleh Datuk Maringgih beserta kaki tanganya. Karena tidak tahan menahan rindunya, maka mereka pun berciuman. Pada waktu itulah Datuk Maringgih mendapatkan mereka dan terjadilah percekcokan. Mendengar kata-kata pedas dari Samsu, maka Datuh Maringgih memukulkan tongkatnya sekeras-kerasnya kepada Samsu. Akan tetapi Samsu bisa menghindar sambil menyeret Nurbaya. Dengan segera Samsu menendangnya, tersungkurlah Datuk Maringgih, karena kesakitan  berteriaklah ia minta tolong. Mendengar teriakan Datuk Maringgih itulah maka pada saat itu juga keluarlah Pendekar Lima dari persembunyiannya dengan membawa sebilah keris.
            Melihat Pendekar Lima membawa keris, berteriaklah Nurbaya sehingga teriakan itu terdengar oleh para tetangga dan Baginda Sulaiman yang sedang sakit. Karena disangkanya Nurbaya mendapat kecelakaan, maka bangkitlah Baginda dan pergi ke tempat anaknya tetapi karena kurang hati-hati, terperosoklah ia jatuh, sehingga  menyebabkan Baginda Sulaiman meninggal. Ia dikebumikan di gunung Padang.
            Pada waktu Pendekar Lima hendak menikam Samsu, menghindarlah Samsu ke samping dan pada saat itu juga ia berhasil menyepak tangan Pendekar Lima, sehingga keris yang ada di tangannya terlepas. Sementara itu datanglah para tetangga yang mendengar teriakan Nurbaya tadi. Melihat mereka itu datang, larilah ia menyelinap ke tempat yang gelap.
            Di antara para tetangga yang datang itu, kelihatan pula Sutan Mahmud Syah yang hendak menyelesaikan peristiwa itu. Setelah ia mendengarkan penjelasan Datuk Maringgih tentang hal anaknya itu maka Samsu pun diajak pulang, dan  karena malunya maka diusirlah Samsu tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Pada malam itu juga secara diam-diam pergilah Samsu ke Teluk Bayur untuk naik kapal pergi ke Jakarta. Pada pagi harinya ributlah Sitti Maryam mencari anaknya. Setelah gagal mencarinya, maka dengan sedihnya, ia pergi ke runah saudaranya di Padangsepanjang.
            Sejak kematian ayahnya, Nurbaya menunjukkan kekerasan hatinya kepada Datuk Maringgih. Ia berani mengusirnya dan tak sudi mengaku suaminya lagi. Dengan rasa geram hati dan dendam, pulanglah Datuk Maringgih ke rumahnya dan ia ingin sekali membunuh Nurbaya.
            Setelah peristiwa pertengkaran dengan Datuk Maringgih itu, Nurbaya tinggal di rumah saudara sepupunya yang bernama Alimah. Di rumah itulah Nurbaya mendapat petunjuk dan nasihat, antara lain ialah agar ia pergi ke Jakarta bersama Pak Ali yang telah berhenti ikut Sutan Mahmud sejak pengusiran diri atas Samsu. Kepada Samsu pun ia memberitahukan kedatangannya itu. Tapi malang bagi Nurbaya karena percakapannya dengan Alimah didengar oleh kaki tangan Datuk Maringgih yang memang sengaja memata-matainya.
            Pada pagi hari yang telah ditetapkan berangkatlah Nurbaya dengan Pak Ali ke Teluk Bayur untuk segera naik kapal menuju Jakarta. Mereka tidak mengetahui bahwa mereka itu diikuti oleh Pendekar Tiga dan Pendekar Lima. Setelah Nurbaya dan Pak Ali naik ke kapal dan mencari tempat yang tersembunyi dekat kapten kapal, maka berkatalah Pendekar Lima kepada Pendekar Tiga bahwa ia akan mengikuti perjalanan Nurbaya ke Jakarta, sedang Pendekar Tiga disuruhnya pulang untuk memberitahukan peristiwa itu kepada Datuk Maringgih. Setelah itu Pendekar Lima pun naik ke kapal dan mencari tempat yang tersembunyi pula.
            Pada suatu saat tatkala orang menjadi ribut akibat ombak yang sangat besar, pergilah Pendekar Lima mencari tempat Nurbaya. Setelah ia mendapatinya, ia segera menyeret Nurbaya hendak membuangnya ke dalam laut. Melihat kejadian itu Pak Ali membelanya, tetapi ia pun mendapat pukulan Pendekar Lima dan tak mampu melawannya karena Pendekar Lima jauh lebih kuat. Nurbaya pun berteriak dan ia jatuh pingsan. Teriakannya itu terdengar oleh orang yang ada dalam kapal, lebih-lebih kapten kapal. Karena takut ketahuan maka Pendekar Lima lari menyembunyikan dirinya, Nurbaya akhirnya diangkut orang ke suatu kamar untuk dirawat.
            Akhirnya kapal pun tiba di Jakarta. Di pelabuhan Tanjung Priok Samsu sudah gelisah menantikan kedatangan kapal uang ditumpangi oleh kekasihnya itu. Setelah kapal itu merapat ke darat, maka naiklah Samsu ke kapal dan mencari Nurbaya. Alangkah terkejutnya tatkala ia mendengar dari kapten kapal dan Pak Ali tentang peristiwa yhang terjadi atas diri Nurbaya. Dengan di antar kapten kapal dan Pak Ali, pergilah Samsu ke kamar tempat Nurbaya dirawat.
            Pada saat itu tiba-tiba datanglah polisi mencari Nurbaya. Setelah berjumpa dengan kapten kapal dan Samsu, diberitahukan kepada mereka itu bahwa kedatangannya mencari Nurbaya ialah atas perintah atasannya yang telah mendapat telegram dari Padang, bahwa ada seorang wanita bernama Sitti Nurbaya telah melarikan diri dengan membawa barang-barang berharga milik suaminya dan diharapkan agar orang itu ditahan dan dikirimkan kembali ke Padang. Mendengar itu mengertilah Samsu bahwa hal itu tidak lain adalah akal busuk Datuk Maringgih belaka, ia pun minta kepada polisi agar hal tersebut jangan diberitahukan dahulu kepada Nurbaya, mengingat akan kesehatannya yang menghawatirkan. Ia minta kepada polisi agar kekasihnya dirawat dahulu di Jakarta sampai sembuh sebelum kembali ke Padang. Permintaan Samu dikabulkan setelah dokter yang memeriksanya menganggap akan perlunya perawatan  Nurbaya. Setelah Nurbaya sembuh, barulah diberitahukan hal itu kepada kekasihnya, kabar itu diterima oleh Nurbaya dengan tenang hati. Ia bermaksud kembali ke Padang untuk menyelesaikan masalah yang didakwakan atas dirinya. Setelah permintaan Samsu kepada yang berwajib agar perkara ini bisa diperiksa di Jakarta tidak dikabulkan, maka pada hari yang ditentukan , berangkatlah Nurbaya ke Padang dengan diantar oleh yang berwajib. Dalam pemeriksaan di Padang ternyata Nurbaya tidak bersalah sehingga ia dibebaskan.
            Pada suatu hari walaupun tidak disetujui Alimah, Nurbaya membeli kue yang dijajakan oleh Pendekar Empat yang menyamar. Kue yang sengaja disediakan khusus untuk Nurbaya itu telah diisi racun. Setelah penjajak kue itu pergi, Nurbaya makan kue yang baru saja dibelinya. Setelah makan kue itu terasa oleh Nurbaya kepalanya pening. Tidak lama kemudian Nurbaya meninggal secara mendadak, terkejutlah ibu Samsu, yang pada waktu itu sedang sakit keras, sehingga menyebabkan kematiannya. Kedua jenasah itu dikebumikan di gunujng Padang di samping makam Baginda Sulaiman.
            Kabar kematian Sitti Maryam dan Nurbaya dikawatkan kepada Samsu di Jakarta. Membaca telegram yang sangat menyedihkan, Samsu memutuskan bunuh diri karena tidak ada gunanya ia berada di dunia ini karena kedua wanita yang disayangi telah berpulang, Samsu memutuskan untuk membunuh diri. Sebelum hal itu dilakukan ia menulis surat untuk ayah, para guru dan kawan-kawannya, untu meminta diri berpisah selama-lamanya. Kemudian dengan menyaku sebuah pistol, pergilah ia ke kantor pos bersama Arifin untuk memasukkan surat yang akan dikirimkan untuk ayahnya. Kabar yang sangat menyedihkan itu dirahasiakan oleh Samsu sehingga Arifin tidak mengetahuinya. Sesampainya di kantor pos, Samsu minta berpisah dengan Arifin dengan alasan bahwa ia hendak pergi ke rumah seorang tuan yang telah dijanjikannya. Arifin memperkenankannya, tetapi dengan tidak setahu Samsu ia mengikuti gerak-gerik sahabatnya itu, karena curiga akan maksud sahabatnya.
            Pada suatu tempat di kegelapan, Samsu berhenti dan mengeluarkan pistolnya dan kemudian menghadapkannya di kepalanya. Melihat itu Arifin segera mengejarnya sambil berteriak. Karena teriakan Arifin, peluru yang meletus itu tidak sampai melukai Samsu. Akhirnya kabar tentang seorang murid Sekolah Dokter Jawa di Jakarta yang berasal dari Padang telah bunuh diri itu tersiar ke mana-mana melalui surat kabar. Kabar itu pun sampai di Padang dan didengar oleh sutan Mahmud Syah dan Datuh Maringgih.
            Karena perwatakan yang baik, sembuhlah Samsu. Ia minta kepada yang berwajib agar berita mengenai dirinya yang masih hidup itu dirahasiakan. Setelah itu Samsu berhenti bersekolah, karena ia menginginkan mati, ia pun menjadi serdadu (tentara). Ia dikirim ke mana-mana, antara lain ke Aceh untuk memadamkan kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di sana. Oleh karena keberaniannya, maka dalam waktu sepuluh tahun saja pangkat Samsu dinaikkan menjadi letnan dengan nama Letnan Mas.
            Pada suatu hari Letnan Mas beserta kawannya bernama Letnan Van Sta ditugasi memimpin anak buahnya untuk memadamkan pemberontakan mengenai masalah belasting (pajak). Sesampainya di Padang dan sebelum terjadi pertempuran, pergilah Letnan Mas ke makan ibu dan kekasihnya di gunung Padang.
            Dalam pertempuran dengan pemberontak, bertemulah Letnan Mas dengan Datuk Maringgih yang termasuk sebagai salah seorang pemimpin pemberontakan. Setelah bercekcok sebentar, maka ditembaklah Datuk Maringgih oleh Letnan Mas, sehingga menemui ajalnya. Akan tetapi sebelum meninggal, Datuk Maringgih masih sempat membalasnya. Dengan ayunan pedangnya, kenalah kepala Letnan Mas yang menyebabkan ia rebah dan terjatuh. Ia rebah di atas timbunan mayat, yang antara lain terdapat mayat Pendekar Empat dan Pendekar Lima. Kemudian Letnan Mas pun diangkut ke rumah sakit. Karena dirasanya bahwa ia tidak lama lagi hidup di dunia ini, maka Letnan Mas minta tolong kepada dokter yang merawatnya agar dipanggilkan Penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmud Syah, karena dikatakannya ada masalah yang sangat penting. Setelah Sutan Mahmud Syah datang, maka Letnan Mas pun berkata kepadanya bahwa Samsu masih hidup dan kini berada di Padang untuk memadamkan pemberontakan, tetapi kini ia sedang dirawat di rumah sakit karena luka-luka yang dideritanya saat pertempuran. Dikatakannya pula kepadanya, bahwa Samsu sekarang bernama Mas, yakni kebalikan dari kata Sam, dan berpangkat letnan. Akhirnya disampaikan pula kepada Sutan Mahmud, bahwa pesan anaknya kalau ia meninggal, ia minta dikebumikan di gunung Padang di antara makam ibunya dan Nurbaya. Setelah berkata itu, maka Letnan Mas meninggal dunia.
            Setelah hal itu ditanyakan oleh Sutan Mahmud kepada dokter yang merawatnya, barulah Sutan Mahmud mengetahui bahwa yang baru saja meninggal itu adalah anaknya, yakni Letnan Mas alias Samsulbahri. Kemudian dengan upacara kebesaran, baik dari pihak pemerintah maupun dari penduduk Padang, dikuburkanlah jenasah Samsu di antara makam Sitti Maryam dan Nurbaya seperti yang pernah dimintanya.
 Sepeninggal Samsu, karena sesal dan sedihnya, maka meninggal pula Sutan Mahmud Syah. Jenasahnya dikebumikan dekat dengan makam istrinya, yakni Sitti Maryam. Dengan demikian di kuburan gunung Padang terdapat lima makam yang berjajar dan berderet, yakni kubur Baginda Sulaiman, Sitti Nurbaya, Sasmsulbahri, Sitti Maryam, dan Sutan Mahmud.
            Dua bulan kemudian berziarahlah Arifin dan Baktiar ke makam sahabatnya itu. Arifin telah lulus dalam ujiannya sehingga ia menjadi seorang dokter, sedangkan Baktiar kini telah menjadi opseter.

Sinopsis Roman "Namaku Teweraut"


NAMAKU TEWERAUT
“ Sebuah Roman Antropologi dari Rimbarawa Asmat, Papua”

Judul                  : Namaku Teweraut: Sebuah Roman Antropologi dari Rimbarawa                              Asmat, Papua
Pengarang          : Ani Sekarningsih
Penerbit              : Yayasan Obor Indonesia
Cetakan              : Pertama
Tahun Terbit      :  2000
Tempat Terbit    : Jakarta
Tebal Buku        : 298 hlm
SINOPSIS

            Di sebuah daerah pedalaman Papua Asmat lahir seorang anak yaitu Teweraut yang artinya anggrek cantik, ia berasal dari keluarga terpandang dan ia dibesarkan dengan kasih sayang oleh kedua orang tuanya. Sejak Teweraut di bangku sekolah ibunya selalu berpesan bahwa Teweraut adalah titisan leluhur yang bersemayam di Caserasen yakni lapangan suci dekat persimpangan tiga sungai. Ia dilarang minum air di sana dan pantang memakan buah dan binatang buruan atau ikan jenis tertentu pada hutan tempat leluhurnya tinggal.
            Ndiwi Teweraut bernama nDesman, beristri dua, ia terlahir dari istri pertama bernama Cipcowut yang merupakan anak ke tiga dari lima bersaudara. Teweraut beruntung karena ia dilahirkan oleh seorang perempuan yang mengerti arti sekolah bagi para gadis, sekalipun harus menentang tradisi masyarakat. Ia pun merantau ke ibukota kabupaten terdekat untuk melanjutkan ke sekolah kesejahteraan keluarga. Akan tetapi karena keterlambatan kiriman ia hanya bersekolah selama delapan bula.
            Suatu ketika datanglah mama Rin dari Jakarta yang ingin mengenal budaya Asmat lebih dekat. Teweraut menjadi sangat dekat dengan mama Rin.
            Teweraut pun beranjak dewasa ia mulai menyukai lawan jenis. Ia tertarik pada Def yang profesinya sebagai seorang guru. Akan tetapi orang tua Teweraut menginginkan ia menikah dengan Akatpits yang beristrikan enam orang. Akatpits adalah seorang kepala dusun. Pertentangan pun terjadi tetapi apa daya Teweraut, ia tidak bisa menolak karena terperangkap dalam ketentuan adat yang mengistimewakan kedudukan status seseorang dan sebagai seorang perempuan yang harus menuruti orang tuanya.
            Berita pernikahan Teweraut terdengar oleh mama Rin kemudian mama Rin datang  untuk mengucapkan selamat dan ia juga ingin mencari dan memilih penari, pakar penabuh gendang, peniup bumbung, dan lakon untuk pameran kebudayaan di laur negeri.
            Terpilihlah enam orang perempuan dan enam laki-laki termasuk Teweraut, Akatpits, dan nDiwi Teweraut. Rombongan bertolak ke Jakarta untuk mempersiapkan pertunjukan budaya. Setelah beberapa hari latihan, semua rombongan berangkat ke Amerika. Di luar negeri mereka merasa tidak nyaman karena harus mematuhi peraturan yang sebenarnya tidak mereka inginkan karena adanya batasan-batasan dan jadwal yang padat. Selama empat bulan mereka harus meninggalkan Asmat.
            Pertunjukan mereka disambut antusias oleh warga Eropa dan Amerika tidak sedikit yang berdecak kagum tetapi di sisi lain tidak menyukai pertunjukan tersebut.
            Setelah perjalanan yang menyenangkan dan melelahkan mereka bertolahk ke Jakarta dan melanjutkan ke Merauke, mereka disambut oleh Bupati Merauke dan pejabat penting yang akan membawa mereka pulang ke kampung halaman. Akhirnya mereka pulang ke kampung halaman dan disambut dengan meriah oleh keluarga mereka masing-masing.
            Setelah perjalanan panjang yang dilalui Teweraut dan Akatpits, Teweraut mulai mencintai laki-laki itu. Ia sangat memperhatikan dan menyayangi Teweraut. Apalagi saat Akatpits mengetahui Teweraut telah hamil dua bulan, hanya dua minggu Akatpits berkumpul dengan anak-istrinya ia berangkat kembali ke Merauke memenuhi tawaran kerja di pelabuhan.
            Hari-hari Teweraut terasa sepi tanpa sang suami ia memutuskan untuk bekerja di base-camp Konoko sebagai tukang cuci dan masak pada Pak Mangunsong dan Mister Hoover asal Texas. Teweraut pun merasa senang dengan pekerjaannya.
            Kini wajah kampung Teweraut sedang menuju perubahan, rombongan luar menjajakan  budaya baru dan rombongan lain merampas sumber kehidupan turun temurun.
            Usia kandungan Teweraut memasuki usia delapan bulan. Teweraut pun berpamitan kepada Mister Hoover untuk meninggalkan pekerjaannya. Ia sekarang tinggal bersama orang tuanya dan sesekali ia mengunjungi istri-istri lain Akatpits. Perasaan rindu pun dirasakan oleh Teweraut dan ia sering memimpikan Akatpits.
            Teweraut mendapat panggilan dari Pak Camat, ia pun mendatangi rumah Pak Camat bersama nDiwinya. Ia mendapat kabar kalau ada kecelakaan di pelabuhan yang salah satu korbannya tewas dan dua luka-luka, berita ini menyebar ke segala penjuru dan belum diketahui siapa korban itu. Selama dua hari mereka menunggu kabar berita tersebut. betapa terkejutnya Teweraut dan istri-istri Akatpits ketika mendengar berita bahwa korban yang meninggal itu adalah Akatpits. Suasana pun menjadi sangat haru. Pemakaman pun dilaksanakan secara adat.
            Setelah kematian Akatpits, kini Teweraut dan istri-istri Akatpits menjadi tanggung jawab Owenbe, adik Akatpits. Para istri sekaligus menjadi istri Owenbe karena adat istiadat jika orang yang meninggal mempunyai istri maka tanggung jawab diberikan kepada saudara yang masih hidup.  Tak mudah Teweraut mengubur kesedihan dalam waktu singkat. Owenbe menawarkan agar Teweraut bisa tinggal bersamanya beserta istri-istri Akatpits dan kedudukannya berubah menjadi istrinya. Akan tetapi, Teweraut untuk sementara memilih tinggal bersama orang tuanya sampai kelahiran anaknya. Kini Teweraut tinggal bersama orang tuanya dan bekerja di biara dan dibina menjadi seorang yang tangguh yang harus bisa menjawab tantangan jaman.
            Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, Teweraut merasakan nyeri di bagian bawah perut. Ia pun dibawa oleh Endewnya ke pondok. Perjuangan Teweraut tidak membuahkan hasil dan akhirnya dibawa ke Puskesmas. Posisi bayi yang dikandung Teweraut ternyata melintang, ia merasa tidak kuat dan saat itu ia merasa bahwa Akatpits berada di disisinya dan membawanya terbang.
            Tangis para wanita meledak ketika melihat Teweraut terbujur kaku. Ia langsung dimakamkan tanpa disemayamkan di rumah karena sesuai tradisi bahwa wanita yang meninggal bersama bayi dalam kandungan akan segera ditempatkan di bawah pohon Cu di hutan keramat.
            nDesman nDiwi Teweraut merasa bersalah karena tidak pernah memberi kesempatan pada Teweraut memilih jalan hidupnya sendiri. Dua bulan kemudian nDesman pun menyusul putri kesayangannya.

KOMENTAR
            Roman ini ditulis oleh Ani Sekarningsih. Ia pernah mengabdi di Asmat beberapa tahun dan hal ini membuat Ani merasa tersentuh untuk merekam keekotisan budaya dan perilaku masyarakat Asmat dalan bentuk roman.
            Roman karya Ani Sekarningsih ini merupakan salah satu karya sastra Indonesia kontemporer yang kental dengan aspek-aspek antropologis. Roman ini berhasil memperoleh penghargaan Hadiah Sastra Buku Utama Tahun 2002 dari Menteri Pendidikan Nasional. Roman ini bercerita tentang kisah perempuan Asmat yang bernama Teweraut dari lahir sampai meninggalnya, sebuah cerita yang memang khas dengan pengertian roman. Banyak dijumpai hal-hal yang menarik dalam roman ini, mulai dari budaya dan perilaku masyarakat Asmat yang sampai sekarang masih dianut dan perjumpaan budaya lokal Asmat dengan budaya modern luar.
            Roman ini bercerita dari sudut pandang atau kacamata seorang Teweraut yang kritis terhadap berbagai hal, termasuk pandangannya tentang budaya di masyarakatnya diantaranya adalah kawin muda dan kawin paksa yang dialaminya, perjumpaannya dengan budaya modern sewaktu ikut misi budaya ke luar negeri, daya kritisnya tentang kondisi sosial budaya sukunya dan banyak lagi persoalan kehidupan yang dialami seorang Teweraut.
            Tema yang diangkat dalam roman 2000-an (Namaku Teweraut) ini menyangkut seluruh aspek kehidupan dan tidak dibatasi. Para penulis era 2000-an ini bebas mengangkat tema yang diinginkan dan bisa mengkritisi segala aspek kehidupan yang ada di masyarakat dan dapat mengungkapkan secara gamblang karena mereka tidak terikat oleh peraturan-peraturan yang seperti periode terdahulu. Sehingga tema yang diangkat mengalami perkembangan yang positif.