LAILA MAJNUN
SEBUAH CINTA ABADI SANG PENCINTA DAN KEKASIH
KARYA NIZAMI
Nizami
adalah seorang penyair besar Rusia pada abad ke-12 yang berhasil menciptakan
sebuah karya sastra yang fenomenal. Awal penulisan novel ini adalah karena
tugas semata, ia ditugaskan untuk menulis Laila Majnun oleh penguasa Kaukasia,
Shirvanshah, pada tahun 1188 Masehi. Dalam pengantar aslinya, Nizami
menjelaskan bahwa seorang utusan dari Shirvanshah menemuinya dan memberinya
sebuah surat yang ditulis tangan oleh Sang Raja sendiri. Shirvanshah memuji
Nizami sebagai penyair yang mampu menampilkan sebuah keelokan pada kata-kata
terhebat di dunia, kemudian Sang Raja meminta Nizami untuk menulis sebuah epos
romantis yang diambil dari cerita rakyat Arab, kisah mengenai seorang Majnun
yang telah melegenda, sang penyair yang gila cinta akibat seorang gadis yang
kecantikannya sangat terkenal namun Majnun tidak diijinkan untuk memiliknya.
Sejak tenggelamnya
Islam sekitas lima ratus tahun sebelumnya, legenda tentang Laila dan Majnun
telah menjadi sebuah tema populer dari lagu-lagu cinta, soneta-soneta, dan
syair-syair pujian masyarakat Badui di jazirah Arab. Manjun dihubungkan dengan
tokoh-tokoh yang benar-benar pernah ada, yakni Qois bin al-Mulawwah, yang
kemungkinan hidup dalam paruh abad ketujuh masehi di padang pasir Najd di
semenanjung Arab. Pada masa Nizami, ada banyak sekali variasi pada tema
mengenai Majnun yang tersebar di seluruh daerah itu, dan tidak diragukan lagi
Shirvansyah telah memerintahkan seorang yang tepat untuk menulis kisah itu.
Laila Majnun telah
menduduki kedudukan penting dalam deretan kisah cinta abadi masyarakat Arab.
Kisah ini dikisahkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi, sehingga
kisah ini menjadi sebuah legenda yang telah menjadi buah bibir di segala
penjuru dunia. Selama lebih dari seribu tahun baragam versi dari kisah tragis
ini telah muncul, meskipun demikian sajak Nizami-lah yang banyak menjadi sebuah
dasar.
Kepopuleran Laila
Majnun sangat dirasakan di Indonesia. Ini terbukti dari penerbit OASE Mata Air
Makna yang telah menerbitkan kisah ini dari tahun 2002 hingga mencapai cetakan
ke delapan pada tahun 2005. Yang pastinya karya ini tidak berhenti diterbitkan
sampai sekarang karena masih banyak ditemui buku ini beredar di Indonesia.
Selain itu, karya ini banyak diterbitkan oleh penerbit lain dan mendapatkan
antusias yang luarbiasa dari masyarakat, sehingga buku ini mendapatkan julukan International
Best Seller.
Dalam novel ini,
Nizami tidak semata menuliskan sebuah bacaan yang bertema cinta belaka. Namun
lebih dari itu, ia menceritakan sebuah cinta yang nyaris sama dengan kehidupan
itu sendiri, karena dalam kisah ini menyangkut hubungan manusia dengan manusia,
manusia dengan makhluk lainnya, dan manusia dengan sang Pencipta. Dalam kisah
ini terdapat sebuah kompleksitas masalah dan emosi tokoh dalam menghadapi
tantangan cinta yang tak tersampaikan. Kompleksitas masalah dan emosi itu
antara lain: perasaan saat jatuh cinta dan menjalani kehidupan dengan kasih
sayang yang luar biasa, kedukaan akibat perpisahan karena hubungan mereka tidak
direstui, adanya keretakan hubungan antara Qois dan ayahnya karena Qois lebih
memilih hidup sendiri di tengah kegelapan, kepedihan akibat kecemburuan, usaha
memperebut cintanya kembali dengan cara peperangan, perasaan dikhianati
cintanya karena Laila telah menikah dengan orang lain, dan kesedihan akibat
ditinggalkan orang yang disayangi serta dicintainya untuk selama-lamanya.
Kisah Laila Majnun merupakan sebuah kisah
dari perjalanan seorang sufi untuk sampai kepada sang Pencipta yang membawa
kita pada sebuah proses panjang dengan cara mencinta, di mana kecintaan itu
bisa menekan ego dan memandang seorang diri dan kekasihnya sebagai kesatuan
yang utuh dan tak terpisahkan. Kisah dalam Laila Majnun ini adalah sebuah kisah
yang sangat tragis tentang cinta yang tidak tersampaikan antara kedua manusia.
Mereka berdua adalah Qois dan Laila.
Kisah ini diawali dengan pertemuan keduannya
di sekolah. Laila adalah anak seorang gadis idaman laki-laki di seluruh penjuru
kabilah, dan beruntunglah Qois karena cintanya terhadap Laila disambut baik.
Laila pun menyukai Qois. Namun hubungan
keduanya harus ditanggalkan karena mereka berdua tidak ingin menjadi
pergunjingan masyarakat. Kemudian mereka berdua memutuskan untuk mengunci
rapat-rapat hubungan mereka. Kehati-hatian mereka semakin hari semakin tak bisa
dikendalikan terutama Qois. Qois tidak dapat menemukan jalan untuk keluar dari
kesulitan dan kebingungan yang dialaminya. Yang dapat dilakukannya hanyalah
berjalan ke sana kemari dalam keadaan tidak sadarkan diri, memuja kecantikan
Laila, dan menceritakan kebaikan hati gadis itu. Semakin banyak orang berjumpa
dan mendengar ucapan-ucapannya, semakin mereka mencemooh dan menertawakan dan
meneriaki Qois sebagai orang gila yakni Majnun.
Qois telah
menelantarkan pendidikannya dan merendahkan harga dirinya serta menggelandang
kesana kemari hanya untuk mengungkapkan cintanya kepada Laila. Syeh Omri tidak
tega melihat anaknya seperti itu, banyak usaha yang telah dilakukan ayahnya
demi kesembuhan anaknya termasuk pergi menunaikan haji. Namun, semuanya sia-sia
setelah kepulangannya dari ibadah haji, Majnun tidak lagi betah di rumah, ia
lebih memilih berkelana dan hidup sendirian di padang gurun bersama kawanan
binatang buas dan ia selalu melantunkan syair-syair cintanya yang indah.
Suatu hari datanglah
kabilah Naufal yang prihatin melihat kejadian ini, kemudian ia ingin
menyandingkan mereka berdua dalam suatu pernikahan. Terjadilah perang besar
yang menghasilkan kemenangan pada kabilah Naufal dan ini artinya kabilah Laila
harus mau menyerahkan Laila kepada kabila Naufal. Akan tetapi, ayah Laila tidak
ingin menyerahkan anaknya di pelukan Qois. Qois tetap merana dalam
kesendiriannya hingga tubuhnya kurus kering tak terawat.
Di sisi lain,
Laila diincar oleh seorang pemuda Arab bernama Ibnu Salam. Ibnu Salam datang
melamar Laila dan diterima. Selama bersama Ibnu Salam, kesuciaan Laila tetap
terjaga dan cintanya kepada Majnun tak pernah luntur sedikitpun. Ketika Majnun
mendengar kabar pernikahan Laila, jiwanya seperti kapas yang tertiup angin.
Majnun semakin menjadi liar dan tak terkendali. Ia terus memanggil nama Laila
dan meratapi takdir yang telah memisahkan mereka. Selama masa perpisahan itu,
Majnun hidup dalam goa di padang pasir dan berkawan dengan binatang-binatang.
Terasing dalam kehidupan manusia dan memilih hidup untuk tetap merawat cintanya
sendiri bersama binatang-binatang yang telah menemaninya selama ini.
Di lain tempat,
ayah Majnun setiap hari meratapi nasib anaknya yang malang. Semakin hari
tubuhnya semakin kurus dan ia menyadari hidupnya tidak lama lagi. Kemudian ia
mempunyai satu keinginan bahwa ia ingin melihat anaknya. Tidak beberapa lama
setelah kunjungan ayahnya ke goa dimana Majnun tinggal terdengarlah kabar bahwa
ayahnya meninggal dunia. Ini membuat keadaan Majnun semakin terpuruk.
Laila ingin sekali bertemu dengan Majnun, kemudian
mereka berdua bertemu untuk kedua kalinya, namun saat pertemuan itu mereka
berdua diam membisu. Kemudian Laila mengeluarkan syair-syair hingga Majnun
meneteskan air matanya dan berbalik membalas syair-syair tersebut. Tiba-tiba
Majnun lari dari hadapan Laila karena ia sudah tak kuasa menahan rasa cintanya
yang membara hingga mengakibatkan pikirannya tidak terkendali karena cinta yang
diberikan Majnun merupakan cinta suci.
Setelah pertemuan
itu, hati Laila semakin tak terkendali, harapannya pupus karena ia tak tahu
lagi bagaimana mengembalikan Qois seperti dulu kala. Tubuhnya semakin kurus,
akhirnya ia meninggal untuk selama-lamanya. Mendengar kabar kematian Laila,
Qois segera berlari menuju pusara Laila. Hingga keduanya kini bersatu dalam
gelap kesunyian untuk selama-lamanya dan tak ada lagi yang bisa memisahkan
keduanya.
Dalam kisah ini Majnun
merupakan seorang pencari cinta yang diperbudak oleh cinta itu sendiri. Ia
merupakan budak cinta yang menghamba untuk diijinkan mencinta. Sedangkan Laila
merupakan seorang penunggu cinta yang selalu mendamba untuk dicinta. Majnun
mampu menahan egonya hingga ia mencapai suatu keadaan peniadaan diri. Ia tidak
lagi memperhatikan dirinya sendiri, ia lebih memperhatikan rasa cintanya yang
teramat dalam pada Laila. Melalui penalaran ini sebenarnya hubungan mereka
berdua lebih cocok bila direpresentasikan sebagai hubungan manusia dengan
Tuhannya. Menurut hadist Qudsi, “Tuhan adalah khasanah tersembunyi, ia ingin
dikenal, maka ia ciptakan semesta dan siisinya. Ia menciptakan bukan karena ia
butuh kepada ciptaannya, tetapi agar ia suatu saat dikenal dan dirindu oleh
makhluknya.
Cerita ini sungguh
memberikan sebuah kenikmatan dan pencerahan yang luar biasa. Dalam kisah ini
kita dihadapkan pada sebuah kisah perjalanan cinta yang sangat luar biasa
hingga melampaui batas harga diri dan merelakan semua kehidupannya diperbudak
oleh perasaan cinta. Kita disuguhi sebuah penderitaan yang ditimbulkan akibat
cinta yang penuh halangan, bukan saja pada orang yang mencinta tetapi juga pada
orang yang dicintai, dalam hal ini yang termasuk orang yang dicintai adalah
orang tua, sanak saudara, dan kabilah
Majnun.
Apapun mampu dilakukan
Majnun untuk mempertahankan cintanya kepada Laila tetap abadi. Termasuk
mengasingkan diri hidup di belantara hutan. Dalam hal ini, Majnun tidak lagi
memandang semua penderitaan yang ia alami sebagai kepedihan. Ia sungguh
menikmati takdirnya seperti ini, takdir diperbudak oleh cinta. Cinta Majnun
terhadap Laila tidak akan binasa meskipun Laila telah mati. Cinta yang terjalin
di antara keduanya merupakan sebuah cinta putih dan suci yang patut diteladani
dan dicontoh. Cinta Laila Majnun merupakan sebuah cinta abadi yang sudah
terlepas dari hawa nafsu. Kisah ini banyak menampilkan potret-potret nilai
kehidupan manusia yang sangat universal tentang arti sebuah cinta suci.